Megawati mengingatkan, bahwa dalam aturan perundang-undangan, pasangan Presiden dan Wapres hanya bisa dicalonkan oleh partai politik. Ia bukanlah calon independen. Konsekuensinya, Presiden dan Wapres sudah sewajarnya juga menjalankan garis kebijakan politik partai.
"Saya menganggap statemen itu mengacaukan antara dua masalah: prosedural dan substansi. Benar bahwa prosedur pencalonan seorang Presiden dan Wapres diatur dalam UU Pilpres sebagai penjabaran UUD 1945 yang tidak mengenal adanya calon independen. Namun UU tidak mengatur bahwa dengan demikian ketika seorang Presiden telah resmi terpilih dan bekerja, maka kedudukannya tak lebih dari petugas parti yang mengusulkan," tulis Hikam di akun Facebook pribadinya, Kamis (9/4).
UUD justru menyatakan bahwa Presiden adalah Kepala Pemerintahan dan Kepala Negara. Kedua posisi tersebut jelas tidak sama dengan petugas partai. Dengan demikian, kata AS Hikam, klausul tentang pencalonan capres, adalah masalah prosedural dan bukan substansi dari fungsi dan tugas pokok Presiden.
"Jika seorang Presiden "hanya" perpanjangan dari kepentingan parpol, maka derajatnya tentu bukan sebagai Kepala Negara, yang mewakili dan menjadi lambang dari negara dan bangsa. Bukan hanya parpol saja, karena status parpol adalah wahana bagi capres, maka bisa saja secara teoretis sebuah parpol atau gabungan parpol mencalonkan kandidat dari luar anggota parpol tersebut sebagai capres," sebut mantan Menristek era Gus Dur ini menekankan.
Hikam menjelaskan, tidak ada keharusan dalam aturan perundang-undangan tersebut yang menyatakan bahwa seorang capres mesti seorang anggota parpol tertentu. Konsekuensinya, kalaupun seorang capres adalah orang yang sama sekali tidak punya partai hal itu sah-sah saja, sejauh bahwa pengusulnya sebagi capres adalah parpol atau gabungan parpol yang memenuhi syarat.
Jelas dia, substansi tugas pokok dan fungsi seorang Presiden jelas mengatasi tupoksi seorang petugas partai. Kendati demikian bisa saja parpol pengusung membuat perjanjian dengan si capres bahwa ia harus melaksanakan program atau agenda-agenda yang seuai dengan kepentingan parpol tersebut. Namun sang Presiden mempunyai hak penuh untuk melakukan penilaian apakah kepentingan-kepentingan tersebut memang layak untuk diikuti atau dianggap berlawanan dengan kepentingan yang lebih besar dan/atau nurani serta pertimbangan strategis lain yang bisa dipertanggungjawabkan secara hukum, politik dan moral.
Di sinilah, tambah Hikam, letak "independensi" Presiden secara substantif. Dalam konteks Presiden Jokowi, beliau adalah seorang Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan, bukan petugas partai PDIP atau KIH semata-mata. Independensi Presiden Jokowi bukan karena beliau adalah calon independen, tetapi karena tupoksinya yang termaktub dalam konstitusi.
"Kesan saya, pidato Megawati masih menggunakan paradigma "petugas partai" yang pernah dilontarkannya pada saat Presiden Jokowi masih calon, dan juga pernah diungkit oleh Puan Maharani beberapa waktu setelah Presiden Jokowi menjabat.Terpulang kepada Presiden Jokowi apakah beliau akan menggunakan atau tidak paradigma tersebut. Tetapi bagi saya, independensi seorang Presiden RI bukanlah kategori prosedural, tetapi adalah substantif," demikian disebutkan doktor politik lulusan Hawai University ini.
[rus]
BERITA TERKAIT: