Dalam gugatan bernomor perkara 105/PUU-XII/2014, mereka meminta MK membatalkan UU Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota terutama Pasal 1 angka 5, angka 11, angka 13 dan angka 14, serta Pasal 3.
"UU Pilkada No. 22 Tahun 2014 jelas merupakan suatu bentuk kemunduran demokrasi di Indonesia. Upaya judicial review yang kami ajukan merupakan upaya menjaga proses dan praktek demokrasi yang sudah dicapai bangsa ini dengan memintakan evaluasi konsitusionalitas terhadap UU Pilkada," ujar salah satu penggugat, Kenna Herdi, yang merupakan alumni FHUI 98 di Jakarta (Senin, 13/10).
"Kami merasa tidak terdapat justifikasi yang kuat untuk membalikkan prosedur pemilihan kepala daerah ke rezim yang berlaku 9 tahun yang lalu (melalui DPRD) sehingga jelas memperlihatkan pembentukan UU Pilkada tidak memperhatikan prinsip Demokrasi yang baik dan benar," sambung dia.
Paguyuban alumnus Fakultas Hukum Universitas Indonesia angkatan 1998 juga berpendapat perlunya mengkritisi perjalanan Perppu nomor 1 dan 2 tahun 2014 yang diterbitkan Presiden SBY untuk membatalkan UU Pilkada. Jika Perppu ini disahkan oleh DPR menjadi UU dan meskipun pemilihan kepala daerah dapat dilakukan secara langsung, namun substansi dan pelaksanaan Perppu masih perlu dicermati apakah memuat ketentuan yang berpotensi mereduksi nilai-nilai demokrasi pemilihan langsung.
Dalam persidangan perdana ini majelis berpendapat dengan dikeluarkannya Perppu No 1 tahun 2014 sehinga UU Pilkada 2014 sebagai obyek judicial review menjadi tidak berlaku. Majelis menyatakan perlu mengevaluasi dan menganalisa langkah berikutnya termasuk apakah perlu dilakukan upaya judicial review terhadap Perppu untuk mengkonfirmasikan keberlakuannya sesuai dengan konstitusi atau menunggu persetujuan DPR.
Kuasa hukum penggugat terdiri dari Fatahilah, M. Agus Riza H, Jenny Budiman, Holy Kalangit, dan Anggia Dyarini. Tim hukum berpendapat bahwa sebenarnya permasalahan hukum terkait polemik mengenai Pilkada bukan hanya pemilihan secara langsung atau tidak langsung. Aturan mengenai kewenangan DPRD dalam prosedur pilkada inipun mengesampingkan Hak Konstitusional rakyat dalam pemilu yang demokratis.
"Jadi, kami tetap akan mengkritisi dan mengawal perjalanan Perppu No 1 tahun 2014 untuk menjaga agar semangat demokrasi langsung tidak tercederai dalam proses pilkada," kata Fatahilah.
Pada sidang pemeriksaan pendahuluan yang dilakukan Senin 13 Oktober ini, Majelis hakim dipimpin oleh Arif Hidayat dengan anggota Anwar Usman, Aswanto, Muhammad Alim, dan sWahiduddin Adams.
[dem]
BERITA TERKAIT: