RUU Pilkada: Bukan Caranya, Tapi Siapa yang Dipilihnya!

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/ade-mulyana-1'>ADE MULYANA</a>
LAPORAN: ADE MULYANA
  • Kamis, 25 September 2014, 16:31 WIB
RUU Pilkada: Bukan Caranya, Tapi Siapa yang Dipilihnya<i>!</i>
rmol news logo Persoalan paling krusial dalam pemilu kepala daerah di negeri ini bukan terletak pada caranya, langsung oleh rakyat atau melalui DPRD, tapi penentuan para kandidat yang akan dipilih. Dan semua itu merupakan domain atau kewenangan partai politik.
 
"Kalau parpol atau koalisi parpol menyodorkan orang-orang yang baik sebagai kandidat kepala daerah, maka dipilih dengan cara apa pun, hasilnya pasti baik. Sebaliknya, kalau kandidat yang disodorkan adalah para bedebah yang sanggup bayar pimpinan parpol, maka dipilih dengan cara apa pun hasilnya tetap bedebah!" ujar inisiator Gerakan Masyarakat Sipil untuk Pemilu Bersih Adhie M Massardi kepada wartawan siang tadi di Jakarta (Kamis, 25/9).
 
"Jadi penyebab utama kenapa pemilukada (sebenarnya juga pemilu legislatif dan pilpres) di negeri ini hanya menghasilkan sengketa hukum, konflik horisontal, dan koruptor, sebenarnya terletak di tubuh parpol, bukan pada cara memilihnya," katanya.
 
Oleh sebab itu, koordinator Gerakan Indonesia Bersih ini menyarakan agar para pimpinan parpol sebaiknya memperbaiki parpol yang dipimpinnya dulu. Tegakkan etika, moral, tata nilai dan komitmennya kepada negara-bangsa. Sangat mudah, kata Jurubicara Presiden era Presiden Abdurrahman Wahid ini, membayangkan betapa buruknya etika dan tata nilai di tubuh parpol kita sekarang ini. Hanya karena demi kepentingan pragmatis dan ekonomis para pengurusnya, tokoh sekualitas (alm) Gus Dur (KH Abdurrahman Wahid) saja bisa dihardik dan diusir dari partainya, PKB.
 
"Padahal mayoritas pengurusnya PKB orang-orang didikan pesantren yang diajari agama secara baik dan benar. Juga budi pekerti dan sopan santun. Bayangkan bagaimana kondisi parpol yang pengurusnya tidak memiliki basis pendidikan agama secara baik dan benar," paparnya.
 
Selain parpol, yang menambah kian buruknya perkembangan demokrasi di negeri ini adalah kalangan akademisi dan intelektual. Mereka bukannya turut memperbaiki kualitas kepanitiaan pemilu (KPU) sebagai tanggungjawab moral intelektualnya, tapi menjadi bagian dari pertarungan politik pragmatis itu.
 
"Bahkan sangat disesalkan, sejumlah akademisi malah menyulap demokrasi menjadi lahan bisnis semata, dengan mendirikan lembaga survei bayaran yang kerjanya membius rakyat dengan elektabilitas, dan bukan kualitas serta integritas," pungkas Adhie. 

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA