7 Kebobrokan Pilkada Langsung Alasan PENA ISMSI Dukung RUU Pilkada

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/ade-mulyana-1'>ADE MULYANA</a>
LAPORAN: ADE MULYANA
  • Rabu, 10 September 2014, 03:55 WIB
7 Kebobrokan Pilkada Langsung Alasan PENA ISMSI Dukung RUU Pilkada
ilustrasi/net
rmol news logo . Persatuan Nasional Alumni Ikatan Senat Mahasiswa Seluruh Indonesia (PENA ISMSI) mendukung Rancangan Undang Undang Pemilihan Kepala Daerah (RUU Pilkada) untuk bisa segera disahkan menjadi undang undang. Tujuh fakta bobroknya pelaksanaan Pilkada secara langsung jadi alasan PENA ISMSI memberikan dukungan.

"Pilkada secara langsung selama ini telah menyuburkan praktek politisasi birokrasi daerah yang cenderung mendukung para calon kepala daerah yang masih berstatus sebagai kepala daerah aktif, dan terjadinya penggunaan fasilitas daerah secara massif oleh calon incumbent," ujar Ketua Umum PP PENA ISMSI, Fuad Bachmid dalam keterangan tertulisnya kepada redaksi tadi malam (Selasa, 9/9).

Fakta ketiga, bebernya, pilkada langsung menciptakan politisasi anggaran daerah berupa bansos dalam setiap kegiatan politik para calon dengan modus perampokan yang variatif. Keempat, pilkada langsung membuat penempatan para pimpinan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) dilakukan berdasarkan kompensasi politik saat Pilkada, bukan berdasarkan pertimbangan kapasitas dan kapabilitas orang tersebut. Keboborokan lainnya, kata Fuad, perekrutan PNS dilakukan sebagai kompensasi kerja politik personal yang mendukung calon kepala daerah terpilih sehingga SDM di daerah cenderung disorientasi, pincang dan tidak menggambarkan layaknya seorang aparatur daerah.

"Fungsi pelayanan publik saat Pilkada cenderung tidak berjalan maksimal, sebab terjadi proses penyumbatan pelayanan. Dengan kata lain birokrasi cenderung hanya mengakomodir orang-orang yang berada di lingkaran pendukung kepala daerah incumbent. Terakhir, para pengusaha lokal yang melaksanakan proyek daerah yang bersumber dari APBD berstatus ganda sebagai ATM para kepala daerah incumbent sehingga memunculkan praktek KKN yang terstruktur dan massif," bebernya.
 
Ditegaskan dia, implementasi pelaksanaan pemilihan kepala daerah oleh DPRD tidak menabrak hakekat dan nilai Demokrasi sama seperti pemilihan dilakukan secara langsung.  Pemilihan secara langsung atau tidak hanyalah soal mekanisme pemilihan, sehingga tidak ada alasan menyebut pemilihan lewat DPRD bertolak belakang dengan pelaksanaan demokrasi. Apalagi kita semua tahu bahwa DPRD juga merupakan mandat rakyat yang didapat melalui pemilihan langsung.
"Suara DPRD merupakan suara rakyat yang pada hakekatnya merupakan bagian dari hasil implementasi proses demokrasi itu sendiri. Jadi dimana landasan teoritiknya jika pemilihan lewat DPRD sebagai langkah mundur pelaksanaan demokrasi," demikian Fuad.[dem]
 

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA