Pelaksanaan Pilpres di 12 kabupaten di Papua misalnya, diakui saksi dilaksanakan dengan langsung membagikan surat suara untuk kemudian dicoblos. Akibatnya, pasangan nomor urut satu Prabowo-Hatta sama sekali tidak mendapat suara.
"Kabupaten Dogiyai dapat nol karena ketua penyelenggara, beserta empat anggotanya itu memerintahkan PPS, PPD, sampai KPPS untuk mereka nomor satu kosong. Semua suara dikasih ke nomor dua, jadi tidak ada pencoblosan," kata Elvincent Dokomo saat memberikan kesaksian dalam sidang lanjutan perselisihan hasil pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden di Gedung Mahkamah Konstitusi, kemarin.
Terkait kesaksian Elvincent, Tim Pembela Merah Putih Maqdir Ismail mengatakan Pilpres tidak berjalan dengan segala sistem yang telah disepakati. Menurut dia, kejanggalan juga terjadi di Sumatera Utara, khususnya Nias. Pengakuan saksi menyebut di sana ada pencoblosan yang dilakukan oleh KPPS,
"Jadi penyelenggara tingkat bawah yang melakukan pemilihan siapa yang akan mereka pilih. Ini sesuatu yang semestinya tidak terjadi. Saya kira tidak benar cara-cara seperti ini," katanya.
Bahkan, kata Maqdir, salah satu saksi memberikan kesaksian bahwa orang tuanya yang sudah meninggal pun tercatat ikut memilih.
"Orang tua yang sudah meninggal ini tercatat sebagai pemilih dan namanya tercatat empat kali sebagai pemilih, bahkan dirinya dan kakaknya tercatat enam kali sebagai pemilih," terangnya.
Sementara, salah satu anggota Tim Pembela Merah Putih Firman Wijaya mengemukakan bahwa data KPU sulit dipertanggungjawabkan. Karenanya kata dia, MK perlu menguji kalau kecurangan-kecurangan ini ada kaitannya dengan tekanan, intimidasi yang merusak sistem penyelenggaraan Pemilu.
"Ini sudah masuk wilayah elections of crime yang dimensi kerusakannya luar biasa. Saya menawarkan konsep yang namanya whistle blower. Saksi-saksi ini harus dilindungi keamanannya karena keberanian mereka mengungkapkan fakta," kata Firman.
[dem]
BERITA TERKAIT: