Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Jokowi Harus Waspada Terhadap Kaum "Kantongi Saja Nasionalisme-mu"

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/gede-sandra-5'>GEDE SANDRA</a>
OLEH: GEDE SANDRA
  • Kamis, 24 Juli 2014, 15:42 WIB
<i>Jokowi Harus Waspada Terhadap Kaum "Kantongi Saja Nasionalisme-mu"</i>
net
PERTAMA-tama haruslah diucapkan selamat kepada Bung Jokowi yang telah memenangkan perhelatan Pilpres 2014. Indonesia kini memiliki pemimpin baru, yang dari dirinya, kita harapkan terjadi sesuatu perubahan yang sistemik.

Sistem ekonomi-politik yang sarat dengan rente-mafia (ingat mafia impor minyak dan komoditi lainnya), korup, dan terjajah oleh kepentingan asing, adalah realitas yang dihadapi oleh Bung Presiden terpilih.

Apalagi dengan dipilihnya Tri Sakti (Berdaulat dalam Politik, Berdikari dalam Ekonomi, dan Berkepribadian dalam Kebudayaan) sebagai program utama, maka untuk mewujudkan perubahan yang sistemik menjadi kewajiban alumnus Univeristas Gajah Mada ini.

Perbaikan dalam struktur ekonomi dan politik Indonesia menjadi ke arah yang digariskan Trisakti menjadi kebutuhan bagi pemerintahan mendatang. Perbaikan dalam sistem politik, lebih ringan dari perbaikan dalam sistem ekonomi. Sistem politik kita yang korup (karena masih kental dengan politik uang) dapat lebih cepat diperbaiki dengan memperjuangkan program "dibiayainya partai politik oleh negara". Model ini mirip dengan apa yang dilakukan di Eropa dan Australia, di mana jika diterapkan hanya akan menelan biaya Rp 5 triliun, akan jauh lebih efisien dibanding kerugian akibat korupsi politik yang menelan biaya puluhan triliun (perhitungan DR. Rizal Ramli).

Niscaya, dengan sistem seperti tadi, seperti apa yang selalu diinginkan oleh Bung Jokowi, politik Indonesia ke depannya akan selalu menjadi suatu kegembiraan. Anak-anak muda yang intelek dan kritis kemudian akan ramai-ramai memenuhi partai politik, dan masa depan Indonesia tentu akan menjadi jauh lebih terang.

Selanjutnya perubahan sistem ekonomi, pekerjaan rumah yang lebih berat dari perubahan sistem politik. Sejak dikudetanya Bung Karno oleh Jenderal Suharto pada 1966-1967, sistem ekonomi Indonesia telah mengalami pergeseran dari amanat Pembukaan UUD 1945 dan juga Trisakti.

Modal asing, yang oleh Bung Karno dihalangi masuk, menyerbu Indonesia dan membagi-bagi wilayahnya bagaikan kue. Terhitung sejak 1967, mazhab ekonomi neo-liberal/neo-klasik telah mulai diterapkan oleh para desainer (teknokrat) perekonomian di sekeliling Suharto. Saat ini pun Indonesia masih menganut sistem yang sama, sistem yang lebih pro terhadap kaum pemodal (yang jumlahnya kurang dari 1 persen penduduk) daripada keadilan sosial bagi mayoritas rakyat yang belum pernah mencicipi arti kemerdekaan (yang jumlahnya mencapai 80 persen penduduk menurut DR. Rizal Ramli).

Mengubah sistem ekonomi Indonesia menuju garis yang ditentukan Trisakti sangatlah sulit, karena sangat banyak ekonom Indonesia yang konservatif, yang terus menjadi garda dari mazhab neoklasik-neoliberal. Siapa-siapa mereka? Mereka menguasai ruang-ruang publik dan pengambil kebijakan. Cara untuk mengidentifikasinya sangat mudah, Bung Jokowi.
Misalnya tentang isu pencabutan subsidi BBM. Siapa-siapa ekonom yang setuju, artinya ia adalah penganut mazhab neoliberal tersebut. Karena di sudut lain masih terdapat para ekonom anti neoliberal yang melihat  program pencabutan subsidi BBM bukan satu-satunya jalan keluar untuk menghemat anggaran negara. Semisal dengan mengurangi pengeluaran pembelian barang modal (gedung, mobil, dll) di birokrasi  pemerintahan, menggantinya dengan leasing. Ataupun dengan mengurangi "subsidi" untuk kaum 1 persen orang terkaya di Indonesia, para bankir dan konglomerat, yaitu dengan tidak lagi membayari cicilan utang mereka, dan sebagainya.

Tidak mungkin Indonesia mencapai berdikari dalam ekonomi bila mengambil para ekonom bermazhab neo-liberal dalam pemerintahan. Tidak mungkin buruh Indonesia akan sejahtera bila mazhab fleksibilitas pasar tenaga kerja diberlakukan, dalam bentuk sistem kontrak dan outsorcing. Tidak mungkin petani Indonesia akan sejahtera bila impor produk pertanian asing terus mengalir deras. Tidak mungkin nelayan Indonesia sejahtera bila subsidi solar mereka terus dicabut. Tidak mungkin kontrak-kontrak dengan perusahaan migas dan tambang asing dapat direnegosiasi dengan menguntungkan Indonesia. Tidak mungkin maritim Indonesia akan kuat jika kapal-kapal asing masih diizinkan menguasai jalur pelayaran dalam negeri. Indonesia akan selalu berada di bawah dominasi modal asing.

Karena itu Bung Jokowi harus waspada terhadap kaum neolib, kaum yang sejatinya adalah para intelek yang dapat tanpa malu berkata di depan publik: "kantongi saja nasionalismemu!". [***]

*Penulis adalah peneliti pada Lingkar Studi Perjuangan

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA