Direktur Hukum dan Advokasi Tim Kampanye Nasional Prabowo-Hatta, Habiburokhman, mengatakan, desakan itu terkait temuan dari Badan Pengawas Pemilu di DKI Jakarta, Jawa Timur, Jawa Tengah, Sumatera Utara dan Sulawesi Selatan soal fenomena banyak pemilih ber-KTP tapi tidak punya formulir A5 (surat pindah memilih). Mereka dicap pemilih ilegal.
"Di DKI ini paling banyak, karena terjadi di hampir 6.000 TPS. Jawa Timur ada enam kabupaten bermasalah, Jawa Tengah hampir 100 ribu pemilih ilegal," tegas Habiburokham saat dihubungi sesaat lalu (Sabtu, 19/7).
Habib menegaskan seharusnya tidak ada rekapitulasi nasional pada 20 Juli-22 Juli.
"Kami ingin pemungutan suara ulang atau PSU diselesaikan lebih dulu sebelum dimulainya pleno di tingkatan pusat," katanya.
Dan menurut UU, pengumuman hasil Piilpres nasional mesti dilakukan paling lambat satu bulan setelah hari pencoblosan (9 Juli), artinya bisa ditoleransi sampai 8 Agustus .
"Desakan ini sudah kami sampaikan jauh hari sebelumnya. Masalahnya, KPU masing-masing daerah terlalu khawatir PSU terlalu mepet dengan jadwal penentuan 22 Juli," ungkapnya.
"Dari jauh hari sudah kami sampaikan protesnya, tapi baru terekspos sekarang. Malam ini akan kami sampaikan permintaan resmi untuk menunda pengumuman," tambah Habiburokhman.
[ald]
BERITA TERKAIT: