Quick Count Punya Tiga Error, Jadi Hasilnya "Boleh" Berbeda

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/aldi-gultom-1'>ALDI GULTOM</a>
LAPORAN: ALDI GULTOM
  • Sabtu, 12 Juli 2014, 16:25 WIB
Quick Count Punya Tiga Error, Jadi Hasilnya "Boleh" Berbeda
net
rmol news logo Masyarakat sebaiknya tidak mempersepsikan bahwa statistik adalah ilmu pasti dan hasilnya harus satu angka.

Demikian disampaikan pengajar metodologi riset, Ayat Hidayat, yang juga peneliti di Sabang Merauke Circle. Pandangannya ini sudah ditulisnya dalam halaman kompasiana. Ia prihatin perdebatan mengenai hasil quick count belum juga selesai. Lebih parah lagi antar lembaga quick count saling menuduh dan masing-masing merasa paling benar.

Prinsipnya, menurut dia dia, statistik berbeda dengan matematik. Matematik hasilnya adalah sebuah kepastian, sementara statistik berbicara error. Jadi hasilnya mungkin dan "boleh" berbeda.

Mengingat Quick Count ini menggunakan metode statistik. Maka setidaknya quick count tidak terlepas dari tiga masalah error yaitu margin error, random error dan sistematic error.

Pertama, Margin of Error. Ini adalah error yang paling populer di berbagai lembaga quick count. Margin error adalah tingkat kesalahan sampel atas populasi yang ditentukan oleh peneliti sebelum melakukan penelitian. Karena margin error ini adalah tingkat kesalahan sampel atas populasi maka margin of error akan mengkoreksi besaran sampel.

Kedua, Random Error. Ini adalah peluang kesalahan yang mungkin terjadi akibat proses randomisasi sampel TPS. Ingat, bahwa quick count adalah proses penyimpulan hasil pemilu berdasarkan sebagian sampel TPS, bukan keseluruhan TPS.

Kita semua perlu tahu bahwa metode pengambilan sampel TPS pada quick count adalah secara proporsional sampel TPS terhadap populasi TPS wilayah yang diturunkan mulai dari pusat, provinsi, kabupaten, kecamatan sampai kelurahan. Setiap lembaga survei harusnya sama dalam menentukan proporsi sampel TPS terhadap populasi TPS pada masing-masing wilayah. Yang berbeda adalah TPS mana dalam satu wilayah yang dijadikan sampel. Lembaga survei A kemungkinan berbeda dengan lembaga survei B dalam menentukan TPS mana yang dijadikan sampel.

"Perlu kita tahu, quick count menggunakan teknik sampling multistage sampling. Katakanlah stage terakhir yang digunakan adalah kecamatan. Pertanyaannya adalah siapa yang menjamin bahwa TPS-TPS yang dijadikan sampel dalam satu kecamatan telah representatif terhadap basis pendukung kedua pasangan?" katanya.

Error ketiga adalah Systematic Error yang tidak bisa dikendalikan secara statistik. Sistematic error disebabkan oleh unsur-unsur subjektivitas. Pengambilan sampel TPS yang tendensius merupakan salah satu penyebab systematic error. Oleh karena itu, salah satu kritik kepada lembaga-lembaga survei, harusnya ada satu kode etik yang mengatur bahwa penyelenggara quick count adalah bukan bagian dari tim sukses atau tidak pernah menyatakan memihak kepada salah satu pasangan. Ketidaknetralan penyelenggara quick count dapat menjadi penyebab systematic error.

Oleh karena quick count ini memungkinkan dan membolehkan hasil yang berbeda, ia mengajak publik memandang hasil quick count ini dengan proporsional dan tidak "lebay".

"Jika ada salah satu direktur eksekutif penyelenggara quick count yang menyatakan bahwa jika hasil KPU berbeda dengan hasil quick count, maka KPU-lah yang salah, saya kira sudah salah kaprah," ujarnya.

Quick count adalah sebagian sampel TPS, bukan populasi TPS. Ingat bahwa kaidah yang digunakan adalah ilmu statistik bukan matematik. Memungkinankan banyak error di sana.

"Jika mau menilai kecurangan KPU buktikan saja di mana kecurangannya, berapa jumlah suara yang dicurangi, bukan dengan hasil quick count," tegasnya. [ald]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA