Pakar tata negara, Margarito Kamis, realitas perpolitikan dalam sistem presidensial Indonesia sekarang membutuhkan penggabungan partai politik untuk memuluskan kemenangan dalam kompetisi Pilpres.
"Partai kita banyak dan kemudian ada
presidential threshold. Secara konstitusi memungkinkan penggabungan suara. Secara konstitusi, penggabungan itu hanya dimaksudkan di pemerintahan. Difokuskan di pemerintahan atau kabinet," ujar Margarito saat diwawancara
Rakyat Merdeka Online, sesaat lalu (Selasa, 29/4).
Tetapi dalam pandangannya, koalisi untuk membentuk pemerintahan itu tak ada faedahnya kalau tidak pula dilakukan di tingkat pemerintahan.
"Betul, ini sistem presidensial, kekuasan presiden tak dibagi dengan DPR. Tapi hak DPR itu bisa digunakan sedemikian rupa dan membuat pemerintahan lumpuih. Misalnya, DPR tidak setuju APBN atau kebijakan lainnya, akibatnya tidak ada duit untuk jalankan program. Apa tidak mampus?" urai doktor hukum asal Ternate ini.
Menjadi agak logis, katanya, bila partai yang mengajukan capres itu pikirkan koalisi yang dimaksudkan untuk kekuatan di parlemen. Karena itu sejak awal, partai yang mengajak dan diajak koalisi harus terbuka.
"Bicarakan apa yang dikoalisikan? Hal-hal sifatnya strategis harus dibicarakan bersama, baru setelah itu ketok palu kebijakan. Janganlah ketika sudah dilakukan baru minta dukungan. Karena itu apa saja yang mau dibuat pemerintahan dibicarakan bersama antara partai-partai yang memerintah," ujar dia lagi.
Dengan mengikutkan partai lain di pemerintahan, itu sama dengan memberi dan membagi tanggung jawab. Karena itu, maka logis sekali kalau rekan-rekan koalisi ingin tahu dan ingin diajak bicara hal yang sifatnya strategis karena tentu saja akan ikut menanggung tanggung jawabnya.
[ald]
BERITA TERKAIT: