Kepastian peta politik pasca pemilu legislatif itu sudah mengudara beberapa jam sebelum pertemuan Surya dengan dua pejabat teras partai banteng, Tjahjo Kumolo dan Hasto Kristiyanto, di kantor Nasdem, kemarin.
Seorang sahabat lama Surya Paloh menyayangkan langkah itu.
Alasannya masuk akal. Kawan lama itu mengetahui betul bagaimana bos Media Group itu bekerja keras membangun Nasdem, dari bentuk ormas menjadi partai politik yang terdaftar sebagai peserta pemilu.
Perjuangan politik kebangsaan Surya Paloh dilakukan bukan dengan mudah. Boleh dikatakan, uang, tenaga dan batin dikerahkan Paloh untuk membangun Nasdem dan memajukannya sebagai peserta pemilu.
Kini, kekaguman publik dan para analis politik terhadap Partai Nasdem terbukti pada 9 April. Hasil hitung cepat menunjukkan Nasdem mencapai 6,5 - 7 persen suara nasional. Sebagai kelompok politik umurnya kurang dari lima tahun. Prestasi gemilang itu boleh dikatakan berasal dari satu kepala Surya Paloh, tanpa mengurangi hormat pada pendekar Nasdem lainnya seperti Rio Capella dan Ferry M. Baldan.
Kembali ke sahabat Surya Paloh. Dengan nada sesak, politisi senior itu mengaku sedih dan tidak mampu memahami, bagaimana mungkin Surya mau menyerahkan semua hasil jerih payah itu kepada orang lain yang belum tentu mampu menerjemahkan ideologi politiknya ke tengah rakyat. Orang itu adalah Jusuf Kalla.
Mungkinkah Surya telah memaafkan segala sejarah "pengkhianatan" JK? Mungkin saja. Namun, menyia-nyiakan kesempatan emas untuk mengaktualisasikan ideologi dan semangat kebangsaan setelah perjuangan yang begitu melelahkan? Itulah yang tidak masuk akal.
Surya Paloh adalah pengagum Soekarno tulen. Surya sudah lama menjalin hubungan dekat dengan Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarnoputri. Mereka begitu dekat secara ideologi. Seharusnya sangat mudah bagi Surya untuk menawarkan dirinya menjadi calon wakil presiden bagi Jokowi. Diyakini, Mega tak mungkin menolak.
Mengapa Surya melepaskan semua hasil jerih payah itu kepada JK? Perjanjian kedua tokoh itu masih menjadi misteri. Namun, yang pasti sosok JK akan lebih banyak menuai resistensi.
Di pihak PDIP, nama JK dipastikan bakal membuat kegemparan politik yang hampir sama dengan ketika Mega memutuskan Jokowi menjadi capres.
Riak-riak perlawanan dari para Soekarnois dan pengurus akar rumput PDIP pasti akan terjadi. JK adalah lawan politik PDIP ketika PDIP menjadi oposisi di periode pertama pemerintahan SBY (2004-2009). Kala itu, JK menjabat Wakil Presiden RI.
Ada keraguan JK tidak akan dapat memahami dan mengimplementasikan prinsip Tri Sakti ala Bung Karno. JK dikenal sebagai pengusaha yang menyerahkan urusan perekonomian ke pasar bebas (neoliberal). Sebagai penjabat Wakil Presiden 2004-2009, JK termasuk bertentangan dengan PDIP dalam soal subsidi BBM.
Mungkinkah Mega sendiri tidak
sreg dengan usulan Surya Paloh?
[ald]
BERITA TERKAIT: