Pengamat politik dari Lingkar Madani untuk Indonesia (Lima), Ray Rangkuti, menegaskan, ambigu karena isi moratorium tersebut sebenarnya telah diatur dengan cermat di dalam UU 8/2012 tentang Pemilu, khususnya dalam pasal 82 sampai pasal 100.
Di dalam pasal itu jelas dan terang benderang disebut apa yang boleh, tidak boleh dan sanksi-sanksi atas pelanggaran masa dan iklan kampanye. Hal ini ditambah pengaturan yang dibuat oleh KPU maupun oleh KPI terkait tata cara iklan kampanye di media penyiaran.
Alasan kedua adalah, objek moratorium ini justru tidak kepada mereka yang mengikat moratorium, tetapi pada pihak lain yang dijamin UU aktivitasnya dalam hal ini adalah parpol peserta pemilu.
Ketiga, moratorium ini juga tidak memberi kejelasan apa yang diikat oleh mereka pada diri mereka atau pada objek lainnya. Apakah iklan kampanye atau iklan politik lainnya. Jika yang dimaksud larangan untuk iklan kampanye tidak pada waktunya, hal itu telah diatur pasal 83 ayat 2 UU 8/2012. Sejatinya moratorium adalah menghentikan kegiatan yang dibolehkan.
Keempat, moratorium sendiri tidak dapat memuat sanksi. Pelanggaran moratorium hanya berakibat pembatalan moratorium. Maka aneh kalau parpol yang tidak ikut mengikat diri pada moratorium dapat sanksi karena tidak melaksanakan isi moratorium. Karena itu, lanjut Ray, yang dibutuhkan bukanlah moratorium tapi penegakan hukum atas mereka yang melanggar. Hal itulah yang tidak tegas dilaksanakan baik oleh Bawaslu maupun KPI.
Masih katanya, jika peraturan yang ada dilaksanakan dengan tegas dan konsisten, maka moratorium itu jauh dari dibutuhkan. Bahkan, moratorium itu berkesan diadakan untuk menutupi kelemahan penegakan aturan.
"Dengan dasar UU saja, aturan diabaikan dan penyelenggaranya takut menegakannya. Apalagi kalau dasarnya hanya moratorium. Ini seperti mengulur waktu untuk menegakkan aturan yang sudah baku," tandas Ray Rangkuti.
[ald]
BERITA TERKAIT: