Tidak Ada Teman Abadi dalam Hubungan Internasional

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/aldi-gultom-1'>ALDI GULTOM</a>
LAPORAN: ALDI GULTOM
  • Sabtu, 09 November 2013, 10:15 WIB
rmol news logo Praktik mata-mata dan penyadapan di antara negara-negara dunia sebetulnya lazim, bahkan sudah setua sejarah manusia. Dalam perang dunia pertama dan kedua, praktik itu biasa terjadi. Bahkan setelah perang dunia kedua, lima negara Amerika Serikat, Australia, Britania Raya, Kanada, dan Selandia Baru secara resmi mengikat perjanjian pertukaran data intelijen.

"Isu ini menjadi isu internasional karena implikasinya sangat masif menyangkut yang menjadi subjek peradaban itu meliputi jutaan orang, meliputi banyak negara dan orang-orang penting," ujar Pengamat Hubungan Internasional Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Ganewati Wuryandari,  dalam diskusi bertema "Sadap Bikin Tak Sedap" di Warung Daun, Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu (9/11).

Dalam konteks hubungan internasional, menjadi goncangan ketika suatu negara yang melakukan hubungan dengan negara lain menciderai rasa kepercayaan negara sahabatnya seperti dalam praktik penyadapan.

"Dalam konteks itu, kalau mengacu pada Konvensi Wina 1961 memang praktik penyadapan tak diperbolehkan. Tapi dalam praktiknya, itu sangat sulit. Di tiap kedutaan besar saja pasti ada aparat intelijen," terangnya.

"Satu hal yang menurut saya menarik dari kasus ini adalah bukti bahwa tidak ada teman abadi dalam hubungan internasional," tambah Ganewati. [ald]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA