Apa yang disebut Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebagai keadaan darurat karena ada indikasi upaya
coup de’etat alias kudeta akhirnya diartikan sebagai halusinasi dan buah dari sakit paranoia seorang pemimpin yang berada di ujung periode kekuasaan.
Senin 25 Maret 2013 tidak ada aksi besar-besaran dari massa yang mengamuk di jalanan, membawa senjata, membakar segala yang ditemui, mendobrak gedung parlemen, mengepung istana presiden, atau menggeruduk kantor-kantor lembaga pemerintah, seperti halnya revolusi-revolusi fisik di beberapa negara Timur Tengah dan Afrika Utara yang kita saksikan lewat layar kaca.
Suasana ibukota aman tentram. Aktivitas pusat perekonomian di wilayah Barat dan kawasan bisnis Sudirman-Kuningan berirama biasa. Kemacetan di beberapa ruas jalan lebih disebabkan kepadatan jumlah kendaraan, bukan karena konsentrasi massa.
Kalau pun ada yang berbeda adalah aktivitas sekelompok aktivis politik Majelis Kedaulatan Rakyat Indonesia (MKRI) bersama kelompok ibu-ibu rumah tangga yang berasal dari kalangan ekonomi lemah di salah satu sudut kawasan Menteng, Jakarta Pusat. Ada pembagian sembako, sehingga jalanan agak macet karena warga yang mengantre.
Masyarakat tak terganggu perasaaannya ketika melewati lapisan penjagaan lebih dari 12 ribu aparat kepolisian dan tentara yang berjaga-jaga. Mereka tahu, Presiden sedang resah. Tapi warga Jakarta tidak.
Presiden yang resah bisa saja mengerahkan uang negara dan aparaturnya untuk memenuhi rasa penasarannya. Toh, dia presiden, kepala pemerintahan, kepala negara dan yang paling dipatuhi oleh seluruh lapis angkatan bersenjata di Indonesia. Presiden yang resah dan curiga harus dijaga barakuda, kawat berduri, kendaraan lapis baja, mobil pemadam kebakaran, water cannon, anjing pelacak. Dan seperti biasa, kekuatan bersenjata yang paling mungkin melakukan kudeta, akan patuh meski penuh pertanyaan di kepala mereka mengapa harus begini dan begitu.
Intinya, Senin 25 Maret 2013, rakyat Jakarta masih rasional, kemampuan berpikir logisnya bisa diacungi jempol. Rakyat Jakarta yang rasional itu kemungkinan besar bisa karena dua hal.
Pertama, rakyat tahu bahwa tidak mudah untuk membubarkan rezim tanpa pra kondisi yang panjang dan matang. Pengalaman 1998 yang berdarah-darah jadi pengalaman pahit dan berharga. Rakyat juga tahu, kekuatan bersenjata di era reformasi ini begitu profesional dan loyal pada pemegang komando tertinggi.
Kedua, bisa jadi rakyat Jakarta yang rasional memilih cuek bebek atas isu kudeta itu karena sudah punya mulut yang lebih bisa percaya, yaitu mulut pemimpin sekelas gubernur bernama Joko Widodo.
Jokowi adalah fenomena politik. Dia tidak hanya populer di Jakarta. Sampai ada istilah
Jokowi effect. Kemenangannya di Pilkada Jakarta tahun lalu dinilai spektakuler karena tidak mengandalkan dukungan partai politik yang besar-besaran, melainkan ditopang pada kekuatan figur, akar rumput dan pemilih muda. Caranya menangani musibah tahunan banjir Jakarta dan mencegahnya meluas, mendapat pujian dari tak sedikit kalangan.
Beberapa waktu terakhir, beberapa lembaga survei nasional iseng memasukkan namanya ke dalam bursa pencalonan presiden 2014. Hasilnya, elektabilitas Jokowi mampu menyaingi para tokoh lama.
Pekan lalu, sebuah lembaga survei merilis namanya di urutan pertama dari semua tokoh nasional yang diharapkan rakyat untuk menjadi presiden 2014-2019. Dia mampu menyalip Prabowo Subianto yang jadi langganan juara. Tokoh politik Aburizal Bakrie begitu gembira ketika dirinya dipasangkan dengan Jokowi dalam sebuah survei. Ketum Golkar yang tadinya berkutat di peringkat bawah hampir semua hasil survei itu, langsung nyangkut di posisi pertama hanya dengan catatan didampingi Jokowi.
Sahlah kalau dikatakan, kepercayaan rakyat pada Jokowi meningkat tajam. Pendatang baru di ibukota republik itu dikenal dan disukai di kancah nasional. Reputasinya jadi meng-internasional setelah masuk nominasi walikota terbaik dunia (saat menjabat di Solo) dan akhirnya ditetapkan sebagai wali kota terbaik ketiga sedunia dalam pemilihan World Mayor Project 2012.
Kembali ke isu kudeta tadi. Presiden SBY jadi bulan-bulanan, khususnya media sosial, karena melontarkan sebuah kabar hoax. Sialnya, hoax itu menyangkut hal strategis dan keberlangsungan demokrasi. Tidak sekali presiden menyatakan kekuasaannya terancam. Dan tidak sekali juga kabar itu mendapat bantahan dari anak buahnya sendiri.
Warga Jakarta sudah punya pemimpin yang lebih dipercaya ucapannya. Pemimpin yang lebih banyak bicarakan apa kebutuhan rakyatnya, pemimpin yang lebih sering turun ke bawah untuk berdialog dengan rakyatnya, pemimpin yang sedang berpikir keras membenahi transportasi warganya, pemimpin yang sederhana saja dan berprinsip "demokrasi harus mendengar, harus mensejahterakan dan bisa menghidupi".
[ald]
BERITA TERKAIT: