"MK dalam pengujian UU hanya menguji norma dari UU itu, apakah bertentangan atau tidak dengan UUD 1945. MK tidak akan pernah dan tidak akan mau ditunggangi oleh kepentingan politik siapa pun,†tegas Hakim Konstitusi, Akil Mochtar, dalam penjelasan kepada wartawan, Selasa (19/6).
Dugaan adanya upaya mempolitisasi kasus Lapindo menjelang pemilu 2014 sudah tercium. Akhir pekan lalu, sejumlah pemohon mengajukan Judicial Review atas kucuran APBNP 2012 untuk penanganan lumpur di luar area terdampak seperti tertuang dalam UU No 4/2012.
MK melihat, gugatan yang diajukan pemohon tidak memiliki dasar yang kuat karena bukan mempersoalkan pada aspek norma hukum, melainkan lebih mempersoalkan masalah penerapan kebijakan penanganan lumpur di luar area terdampak. Padahal, pemerintah RI telah menetapkan bencana lumpur Sidoarjo sebagai bencana alam, sehingga memang ada kewajiban negara untuk mengucurkan bantuan ke Sidoarjo.
Seperti diketahui, berdasarkan Perpres No 14/2007, penanganan bencana lumpur Sidoarjo dilakukan melalui dua pihak. Pihak pertama, PT Lapindo sebagai pihak yang bertanggungjawab untuk menangani jual beli lahan, bantuan sosial dan lainnya di area terdampak. Pihak kedua, pemerintah RI melalui BPLS berwenang menangani bencana lumpur di luar area terdampak.
Hingga saat ini, keluarga Bakrie melalui PT Lapindo telah mengucurkan dana sebesar Rp 7,9 triliun untuk penanganan di area terdampak. Sedangkan pemerintah RI melalui BPLS telah mengucurkan dana APBN sebesar Rp 4,676 triliun (realisasi kucuran APBN) dari total anggaran Rp 6,751 triliun sejak tahun 2007 hingga 2012.
Di sisi lain, MK juga mempertanyakan munculnya gugatan soal penggunaan dana APBN untuk penanganan lumpur baru diajukan 6 tahun setelah kejadian. Padahal, penggunaan dana APBN untuk penanganan lumpur telah dilakukan sejak 2007.
Dalam beberapa kesempatan, Kepala Humas BPLS Akhmad Kusairi mengatakan bahwa penggunaan dana APBN untuk penanganan lumpur merupakan aspirasi rakyat yang disetujui Dewan.
[ald]
BERITA TERKAIT: