Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Peran Mabes TNI

Senin, 11 Desember 2017, 08:14 WIB
PADA hari Jumat (8/12), Marsekal Hadi Tjahjanto dilantik oleh Presiden Jokowi menjadi Panglima TNI yang baru di Istana Negara. Keesokan harinya, Sabtu (9/12), dilaksanakan Sertijab Panglima TNI di Mabes TNI. Dengan demikian Marsekal Hadi Tjahjanto telah secara resmi menggantikan Jenderal Gatot Nurmantyo sebagai Panglima TNI.

Reformasi 1998 yang salah satunya mengamanatkan Reformasi TNI membawa perubahan yang besar pada peran dan kedudukan TNI. UU nomor 34 tahun 2004 tentang TNI yang lahir setelah reformasi kemudian mengakomodasi Reformasi TNI ini. Salah satu hal yang diatur oleh UU 34/2004 ini adalah jabatan Panglima TNI yang akan dijabat oleh tiga matra (AD, AL dan AU) secara bergantian/rotasi.

Sebagaimana jabatan-jabatan strategis lainnya, jabatan Panglima TNI menjadi perhatian masyarakat luas. Banyak ulasan dari pengamat yang kemudian menjadi berita menarik baik media cetak maupun online. Salah satu berita yang menarik perhatian penulis adalah berita dengan judul 'Bubarkan Mabes TNI Karena Bertabrakan dengan UUD'. Judul berita ini selain provokatif juga kurang sesuai dengan semangat integrasi TNI yang terus diupayakan oleh internal TNI.

Penulis berpendapat bahwa Mabes TNI harus diperkuat peranya bukan sebaliknya. Peran Mabes TNI harus diperkuat bukan hanya karena pertimbangan sejarah TNI sendiri akan tetapi juga berdasarkan pertimbangan efisiensi dari pelaksanaan tugas TNI di masa kini dan masa mendatang.

Sejarah TNI

Sejarah mencatat bahwa TNI terbentuk dari rakyat yang berjuang merebut dan mempertahankan kemerdekaan di era 1945. Pada saat pertama kalinya terbentuk, TNI terdiri dari laskar-laskar rakyat baik yang pernah mendapatkan pelatihan militer oleh penjajah Belanda (KNIL) dan Jepang (PETA, HEIHO dll) maupun laskar sukarela yang tidak mendapatkan pelatihan sebelumnya. Seiring dengan sejarah Indonesia, kekuatan militer Indonesia mengalami beberapa perubahan nama mulai dari Badan Keamanan Rakyat (BKR), Tentara Keamanan Rakyat (TKR), Tentara Keselamatan Rakyat, Tentara Republik Indonesia dan kemudian Tentara Nasional Indonesia (TNI).

Beberapa kali perubahan nama militer Indonesia tersebut berkaitan erat dengan susunan organisasi yang dibentuk. Semangat yang menjadi dasar pembentukan TNI adalah semangat pengabdian ikhlas tanpa pamrih kepada negara dan semangat mengutamakan kepentingan bangsa diatas kepentingan pribadi dan golongan sehingga pada akhirnya TNI berada pada satu komando di bawah Panglima Besar Angkatan Perang Jenderal Soedirman (3 Juni 1947).

Pada era Demokrasi Terpimpin, masing-masing angkatan mempunyai Panglima sendiri yang bertanggungjawab langsung kepada Presiden Soekarno sebagai Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata. Pada era ini, terlihat sekali adanya persaingan sektoral antar matra yang juga dipengaruhi dan mempunyai keterkaitan dengan situasi politik yang memanas. Puncak dari memanasnya situasi politik adalah dengan adanya pemberontakan G/30 S/PKI pada tahun 1965.

G/30 S/PKI menjadi awal berakhirnya Demokrasi Terpimpin Presiden Soekarno dan dimulainya Pemerintahan Orde Baru dibawah Presiden Soeharto. Pada Era Orde Baru, pejabat Panglima Militer Indonesia berada di tangan Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) yang sekaligus merangkap sebagai Menteri Pertahanan dan Keamanan (Menhankam/Pangab). Menhankam/Pangab membawahi TNI AD, TNI AL, TNI AU dan Polri.

Reformasi 1998 mengakhiri Pemerintahan Orde Baru dan menjadi awal Era Reformasi. Militer Indonesia berganti nama kembali dari ABRI menjadi TNI. Kepolisian Republik Indonesia (POLRI) yang semula menjadi satu dengan ABRI menjadi terpisah tersendiri dan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri) bertanggungjawab langsung kepada Presiden.

Dari sejarah TNI yang demikian Panjang dan melewati masa-masa yang berliku seiring dengan sejarah Bangsa Indonesia ini, dapat ditarik kesimpulan bahwa integrasi TNI adalah hal yang sangat penting. Ego sektoral antar angkatan yang berlebihan bukan hanya menjadi sesuatu yang kurang positif akan tetapi bisa membahayakan kehidupan berbangsa dan bernegara.

Ego sektoral antar angkatan juga bisa menjadi pintu masuk kepentingan politik sesaat para politisi yang ingin memanfaatkan peran TNI. Kita semua tentu tidak ingin kejadian-kejadian pada era 1965 yang memakan banyak korban terulang kembali. Untuk hal itulah, maka peran Mabes TNI sangatlah signifikan untuk menghilangkan ego sektoral ini dan membuat solid kekuatan tiga matra dalam satu komando.

Efisiensi Operasi TNI
Operasi Militer oleh TNI yang penting dalam sejarah Indonesia selalu dilaksanakan secara gabungan 3 kekuatan matra. Perebutan kemerdekaan Indonesia dilaksanakan oleh pejuang sukarelawan dari darat, laut dan udara (1945). Operasi Trikora di bawah komando Mayor Jenderal Soeharto dengan misi merebut kembali Papua Barat melibatkan seluruh matra (1962). Operasi Dwikora yang kemudian berubah nama menjadi Komando Mandala Siaga (Kolaga) di bawah komando Laksdya Udara Omar Dani dibentuk dalam rangka konfrontasi atas pembentukan Federasi Malaysia tersusun atas 3 angkatan (1964). Operasi Seroja di Timor Timur dalam rangka integrasi dan menumpas Fretilin juga melibatkan seluruh angkatan (1975).

Dalam perang modern sekarang ini, penyatuan kekuatan tiga matra dalam satu komando adalah hal yang tidak terelakkan. Kita bisa melihat pentingnya penyatuan 3 angkatan dalam operasi ini dengan melihat perkembangan organisasi oleh Militer Australia / Australian Defence Forces (ADF). Pada tahun 2004, ADF membentuk Markas Gabungan Operasi / Headquarters Joint Operation Command (HQJOC). HQJOC ini dipimpin oleh Perwira bintang 3 dengan jabatan sebagai Chief of Joint Operations (CJOPS). CJOPS saat ini dijabat oleh Vice Admiral David Johston dari AL / Royal Australian Navy (RAN) yang bertanggungjawab terhadap seluruh operasi gabungan ADF.

Berdasarkan paparan dari para petinggi ADF yang penulis hadiri pada waktu seminar di Canberra pertengahan tahun 2017 ini, pembentukan HQJOC ini adalah dalam rangka efektifitas dan efisiensi operasi militer oleh ADF. Kepala Staf Angkatan yang dijabat Perwira bintang 3 bertugas menyiapkan personil dan material yang sewaktu-waktu dibutuhkan dan diserahkan untuk operasi di bawah komando CJOPS. Setelah operasi militer dirasa cukup, personil dan material akan dikembalikan kepada Kepala Staf Angkatan untuk dilaksanakan penyiapan kembali.

Berdasarkan kenyataan-kenyataan tersebut, Komando Operasi Gabungan selalu dibutuhkan oleh setiap militer di dunia. Berdasarkan catatan sejarah, untuk Indonesia, Komando Operasi Gabungan dibentuk temporary sesuai kebutuhan operasi dan bukan merupakan organisasi tetap. Untuk ADF, mulai tahun 2004 membentuk permanent HQJOC untuk menangani operasi gabungan.  

Kesimpulan

Berdasarkan ilustrasi-ilustrasi diatas, kita bisa simpulkan bahwa peran Mabes TNI sangatlah vital. Pendapat yang mengatakan bahwa Mabes TNI perlu dibubarkan bukan hanya tidak tepat apabila ditinjau dari semangat integrasi TNI tapi juga membahayakan kehidupan bernegara. Mabes TNI perlu diperkuat perannya bukannya dibubarkan.

Operasi Gabungan adalah kebutuhan tidak terelakkan dalam dunia militer dan penyatuan komando adalah langkah efisiensi sumber daya. Operasi Gabungan memberi kesempatan pasukan-pasukan terbaik dari tiap angkatan untuk berjuang bersama mencapai satu tujuan yang sama. Mabes TNI akan menjadi payung operasi-operasi gabungan dan menjamin integrasi antar angkatan yang output besarnya adalah tetap terjaganya NKRI.[***]


Dedi Gunawan Widyatmoko, S.E.

Tulisan ini adalah opini pribadi dan tidak mewakili instansi manapun.
Penulis adalah Siswa Program Master of Maritime Policy di Faculty of Law, University of Wollongong, Australia / Penerima Beasiswa DCSP (Defence Cooperation Scholarship Program).




 


 

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA