Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Pergantian Panglima Sebaiknya Pakai Sistem Rotasi

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/'></a>
LAPORAN:
  • Senin, 04 Desember 2017, 00:43 WIB
Pergantian Panglima Sebaiknya Pakai Sistem Rotasi
Gatot Nurmantyo/Net
rmol news logo Teka-teki siapa yang akan menggantikan Jenderal Gatot Nurmantyo sebagai Panglima TNI masih belum terbaca secara jelas. Presiden Jokowi belum memberikan sinyal pasti, dari angkatan mana Panglima baru nanti diangkat.

Kepala Badan Intelijen Strategis (Kabais) TNI periode 2011-2013 Laksda TNI (Purn) Soleman B Ponto ‎dan Anggota Komisi I DPR Bobby Adhityo Rizaldi ‎berharap, dalam pergantian itu, Presiden Jokowi menerapkan sistem rotasi seperti yang selama ini digunakan. Kedua menganggap, penerapan sistem itu penting demi menjaga kesolidan di internal institusi TNI.

Soleman menerangkan, Pasal 13 ayat (4) UU Nomor 34/2004 tentang TNI mengatur bahwa posisi Panglima TNI dapat dijabat secara bergantian oleh perwira tinggi aktif dari tiap-tiap angkatan yang sedang atau pernah menjabat sebagai Kepala Staf Angkatan. Jadi, pola rotasi tersebut memang sudah diatur meski tidak diwajibkan.

Namun, dalam praktiknya, TNI AD mendapat giliran kesempatan yang lebih besar daripada TNI AL dan TNI AU. Hal itu terlihat dari tujuh Panglima terakhir yang diangkat sejak era reformasi. Pertama, jabatan Panglima dipegang Laksamana Widodo (TNI AL), kemudian beralih ke Jendral Endriartono Sutarto (TNI AD).

Setelah itu, dijabat Marsekal Djoko Suyanto (TNI AU) yang kemudian dilanjutkan Jederal Djoko Santoso (TNI AD). Selanjutnya, oleh Laksamana Agus Suhartono (TNI AL), Jenderal Moeldoko (TNI AD), dan terakhir Jenderal Gatot Nurmantyo (TNI AD).‎ Pola umumnya adalah dari TNI AL ke TNI AD, kemudian ke TNI UA.

Bila mengikuti pola itu, kata Soleman, penempatan Gatot sebagai Panglima TNI pada 2015 lalu sebenarnya sudah merusak pola yang telah terbentuk.

"Bila mengikuti pola yang sudah terbentuk, setelah Jenderal Moeldoko, jabatan Panglima TNI seharusnya diisi dari TNI AU. Tapi kenyatannya diisi dari TNI AD. Apabila kemudian Jenderal Gatot diganti lagi oleh KSAD, pola yang terbentuk menjadi semakin rusak. Hal ini akan sangat berpengaruh terhadap soliditas TNI,” tuturnya.

‎Padahal, kata Soleman, sejak diberlakukannya UU Nomor 34/2004, tugas ketiga angkatan menjadi sangat jelas. Tidak ada salah satu angkatan yang dominan. “Itulah sebabnya, ketiga Kepala Staf dapat menjabat Panglima TNI secara bergiliran. Tidak lagi didominasi TNI AD seperti yang terjadi pada zaman sebelum berlakunya UU TNI."


Karena itu, dia berpendapat, yang paling berpeluang untuk menjadi pengganti Gatot adalah berasal dari KSAU dan KSAL. Bila Presiden Jokowi ingin memperbaiki pola rotasi yang sudah terbentuk, pilihannya akan jatuh kepada KSAU. Akan tetapi, bila Presiden ingin mensukseskan Indonesia sebagai poros maritim dunia, pilihannya bisa jadi jatuh kepada KSAL.

"(Tapi) siapa pun nantinya yang akan terpilih, harus kita hormati. Sebab, mengangkat Panglima TNI adalah prerogatif Presiden,” katanya. [sam]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA