Penembakan yang menyebabkan Yulius Okoare dan Emanuel Mairimau meninggal dunia dan empat orang lain luka-luka yang terjadi pada Jumat
(28/8) saat acara adat pukul tifa itu, mesti dilakukan di peradilan umum.
Kami khawatirkan bahwa proses hukum terhadap para pelaku lagi-lagi akan diselesaikan melalui mekanisme Peradilan Militer yang tidak transparann" kata anggota Divisi Sipil dan Politik Kontras, Arief Nurfikri, di Kantor Kontras, Menteng, Jakarta, Selasa (1/9).
Jika dilihat dari kasus-kasus kekerasan oleh oknum TNI sebelumnya, lanjut Arief, mekanisme Peradilan Militer cenderung menjadi alat impunitas bagi oknum TNI yang menjadi pelaku tindak pidana kekerasan.
Ia mencontohkan kasus kekerasan yang terjadi terhadap Arliance Tabuni pada tahun 2013 lalu. Kasus tersebut dihentikan penyidikannya (SP3) dengan alasan tidak ada bukti yang cukup untuk menjerat pelaku penembakan.
Guna menjamin asas persamaan di hadapan hukum dan keadilan bagi korban, Kontras endesak Panglima Kodam (Pangdam) Cederawasih untuk menyerahkan kasus penembakan tersebut ke institusi kepolisian agar diproses melalui peradilan umum.
"Hal ini dilakukan sebagai bagian dari asas persamaan di hadapan hukum untuk menunjukan bahwa tidak ada perbedaan antara warga sipil maupun
militer di hadapan hukum," ujarnya.
[ald]
BERITA TERKAIT: