Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menekankan bahwa perhatian utama harus segera dialihkan pada penanganan psikologis dan emosional seluruh komunitas sekolah.
Fokus trauma healing tidak boleh terbatas pada 14 siswa yang harus menjalani rawat inap. Semua siswa yang berada di lokasi, baik yang hanya mendengar suara ledakan atau yang menyaksikannya secara langsung, pasti membutuhkan pendampingan profesional.
"Semua anak, baik mengalami luka atau tidak, yang mendengar atau menyaksikan kejadian pasti membutuhkan pendampingan," ujar Ketua KPAI, Margaret Aliyatul Maimunah, dalam keterangannya di Jakarta, Jumat malam 7 November 2025.
Untuk memastikan penanganan trauma berjalan efektif, KPAI merekomendasikan upaya trauma healing dilakukan oleh psikolog tersertifikasi. KPAI mendorong agar proses ini melibatkan kerja sama lintas institusi yang berkompeten, seperti, Himpunan Psikologi Indonesia (HIMSI), Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA), dan Kepolisian yang memiliki tenaga spesialis psikologi.
Selain aspek psikologis, KPAI menyambut baik rencana Wakil Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah untuk mempercepat rehabilitasi fasilitas sekolah. Pemulihan gedung dinilai krusial agar kegiatan belajar mengajar dapat dilanjutkan sesegera mungkin, menciptakan kembali rasa normalitas bagi para siswa.
KPAI mencatat bahwa dampak fisik ledakan cukup serius. Berdasarkan data sementara dari kepolisian sebanyak 14 anak menjalani rawat inap, dengan mayoritas berusia di bawah 18 tahun, dan tujuh anak memerlukan tindakan operasi akibat luka yang cukup berat.
Luka yang dialami korban bervariasi, mulai dari cedera di bagian kaki, kasus di mana kuku jari harus diangkat, hingga keluhan sakit pada telinga dan kepala. Meskipun total korban sempat dilaporkan mencapai 37 orang, KPAI masih menunggu data final dari kepolisian untuk mengetahui angka pasti yang membutuhkan penanganan medis dan psikologis.
BERITA TERKAIT: