Pasalnya, pejabat eselon II tersebut pernah terbukti bersalah dalam kasus pidana dan dijatuhi hukuman penjara enam bulan dengan masa percobaan satu tahun.
Berdasarkan putusan Pengadilan Negeri Mataram, Irnadi terbukti secara sah melakukan tindak pidana penelantaran istri dan anak serta pernikahan tanpa adanya persetujuan istri merupakan pelanggaran hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 9 Undang-undang No 23 Tahun 2004 tentang penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Jo UU No 35 Tahun 2014 tentang perubahan atas UU No 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, Jo Pasal 279 (Ayat 1) KUHP.
Bahkan, kasasi yang diajukan Irnadi ditolak tertanggal 23 Maret 2021, artinya dia harus menjalani pidana enam bulan.
Irnadi juga pernah diberhentikan dari jabatan tinggi pratama sebelumnya.
Merespons hal tersebut, Kepala Badan Kepegawaian Daerah (BKD) NTB, Tri Budiprayitno menjelaskan, Irnadi telah selesai menjalani sanksi dalam kasus tersebut.
Artinya, menurut Tri, Irnadi berhak mengikuti seleksi terbuka lantaran proses hukumnya. Kasus Irnadi terjadi pada 2021.
"Dia sempat dinonjobkan kemudian kembali lagi mendapat kepercayaan. Setelah itu dia ikut seleksi terbuka dan lolos," kata Tri kepada wartawan pada Jumat 19 September 2025
Sayangnya, pengangkatan Irnadi bisa saja membentur regulasi mengenai Jabatan Pimpinan Tinggi (JPT) sangat tegas.
Berdasarkan Pasal 107 PP 11/2017 jo. PP 17/2020, calon pejabat tinggi harus memiliki rekam jejak yang bersih, berintegritas tinggi, dan tidak sedang menjalani hukuman pidana maupun disiplin.
Irnadi dilantik bersama tujuh pejabat eselon II lainnya di Pendopo Gubernur NTB pada Rabu 17 September 2025.
Dari delapan pejabat yang dilantik, enam di antaranya merupakan hasil seleksi terbuka pengisian JPT Pratama.
BERITA TERKAIT: