Berdasarkan hal tersebut, Ketua Umum Kesatuan Pelajar Pemuda dan Mahasiswa Pesisir Indonesia (KPPMPI), Hendra Wiguna berharap pemerintah yang baru bisa meneguhkan kembali Indonesia sebagai bangsa dan negara maritim.
“Kembalilah menjadi bangsa samudera, pesan Bung Karno yang perlu selalu kita ingat dan jadikan petunjuk serta kunci untuk mencapai Indonesia raya. Bahwa laut adalah jalan kesejahteraan, bahwa maritim adalah kunci,” kata Hendra kepada
RMOL di Jakarta, Senin (23/9).
Momentum Hari Maritim yang diperingati setiap 23 September, sejak terbitnya Surat Keputusan Nomor 249 tahun 1964 oleh Presiden Soekarno.
Menurut Hendra, hal itu harus dijadikan sebagai momentum evaluasi arah kebijakan. Sudah sesuaikah kebijakan selama ini dengan keindonesiaan yang mana lautnya lebih luas ketimbang daratan, yang merupakan pulau-pulau, dan masyarakatnya berlatar belakang pelaut.
“Rasa-rasanya kita semua harus mempertanyakan itu, melihat saat ini kondisi masyarakat pesisir kalah di laut dan dirundung di daratan. Bagaimana tidak demikian, laut masih dijadikan sebagai halaman belakang. Sampah dan limbah industri dibuangnya ke laut, pun demikian minimnya penegakan hukum terhadap penggunaan alat tangkap tidak ramah lingkungan seperti masih maraknya alat tangkap trawl di Sumatera Utara,” bebernya.
Lanjut Hendra, pemerintah menamai ibu kota negara (baru) sebagai Nusantara, menggambarkan Indonesia dengan pulau-pulaunya. Namun, akan terasa janggal apabila dalam agendanya justru banyak pulau-pulau kecil yang dikorbankan. Mulai dari eksploitasi pertambangan hingga alih fungsi yang menggeser keberadaan masyarakat kepulauan dan sekaligus merusak sumber daya alamnya.
“Sudah banyak hasil penelitian dan aspirasi rakyat yang menyatakan akan bahayanya eksploitasi alam di pulau kecil, namun sepertinya tidak sampai ke hati para pemangku kebijakan. Mereka tidak melihat akan kerentanan ekologis yang tinggi dengan daya pulih yang rendah, bila eksploitasi sumber daya alam di lakukan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil,” bebernya lagi.
Masih kata Hendra, di tengah-tengah negara lain berlomba-lomba untuk menjunjung keberlanjutan sebagai bentuk antisipasi kerawanan pangan dunia. Justru kita melakukan sebaliknya, teranyar pemerintah membuka keran ekspor pasir laut yang mengundang kegaduhan banyak pihak.
Terutama bagi masyarakat pesisir yang berada di barisan paling depan apabila kebijakan ini nantinya berdampak buruk terhadap keberlanjutan, seperti hal-hal sebelumnya yang sudah sering terjadi.
“Pengalaman anggota KNTI yang sudah terjadi sebelumnya, dampak dari penambangan pasir laut terhadap nelayan kecil atau tradisional sangat besar, seperti lingkungan laut jadi tercemar dan rusak, ikan-ikan menjauh, terumbu karang serta lamun rusak,” ungkap dia.
Alih-alih mengedepankan pemanfaatan sumber daya yang eksploitatif, KPPMPI berharap pemerintah lebih inovatif dalam memanfaatkan sumber daya kelautan perikanan Indonesia. Kebelakang kita fokus dengan inovasi menambah jumlah produksi, maka ke depan kita harus selangkah lebih maju.
“Luasnya laut harus sebanding dengan luasnya kesempatan untuk pemenuhan hidup masyarakat, potensi kemaritiman Indonesia harus mampu serap tenaga kerja sebanyak-banyaknya. Sehingga, tidak ada lagi kemiskinan di daerah-daerah yang kaya akan sumber daya kelautan perikanannya,” terang dia.
Sambung Hendra, kesempatan masyarakat pesisir untuk mendapatkan pendidikan formal dan informal juga tidak kalah penting. Agar masyarakat pesisir lebih siap untuk bersaing, setara dengan masyarakat perkotaan.
“Setelah Hari Maritim di peringati pada 23 September 2024, seyogyanya tidak ada lagi agenda pembangunan yang meminggirkan masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil. Jika pemerintah benar-benar meng-amini bahwa Indonesia sebagai negara maritim, jika tidak maka ya sudah berarti hari maritim hanya ajang seremonial kenegaraan belaka. Sekaligus mengkhianati
founding fathers Indonesia,” tandasnya.
BERITA TERKAIT: