Mereka menuntut agar perusahaan tersebut memberikan manfaat yang signifikan masyarakat setempat.
Koordinator aksi, Eko Pratama mengatakan meski perusahaan-perusahaan migas banyak yang beroperasi di Anambas seperti PT Medco E&P Natuna Indonesia, PT Star Energi dan Harbour Oil Limited, namun sejauh ini masyarakat sekitar masih sulit mengakses mereka.
“Masyarakat lokal anambas yang saharusnya di jadikan sahabat justru malah di asingkan di tanah kelahirannya sendiri. Contoh konkret dari 3 holding dan puluhan sub holding yang membantu aktivitas perusahaan apakah ada yang berasal dari UKMK atau Vendor lokal ?? nihil adanya,” katanya dalam keterangan tertulis kepada redaksi, Jumat (20/9).
Lebih parahnya kata Eko, seluruh kebutuhan pokok untuk menunjang aktivitas perusahaan ini didatangkan dari daerah lain seperti bahan pangan.
“Padahal Anambas itu dareah penghasil ikan terbesar. Ini sama saja perusahan ini melecehkan potensi serta harkat dan martabat masyarakat lokal. Sudah sewajarnya seluruh masyarakat anambas marah,” ujarnya.
Pada sisi lain kata Eko, tanggung jawab perusahaan terhadap masyarakat lokal sebagaimana diatur dalam undang-undang juga tidak ditunaikan. Rekrutmen tenaga kerja lokal hingga tanggung jawab sosial berupa corporate social responsibility (CSR) tidak ada transparani.
“Kami akan serius menelusuri ini, jika temuan lapangan kami mengarah kepada kerugian Negara, Anambas Muda Menggugat akan menempuh jalur hukum,” tegasnya.
Atas banyaknya persoalan ini, Aliansi Anambas Muda Menggugat mendesak agar Kementerian ESDM dan SKK MIgas mengaktifkan Participating Interest 10 persen di wilayah kerja Natuna Selatan Sea Blok B dan memberikan kesempatan pada Kabupaten Kepulauan Anambas untuk mengelolanya demi meningkatkan peran daerah di kegiatan hulu migas.
“Kami juga meminta pembukaan kembali akses Outsider Seat pesawat untuk tujuan pendidikan dan merujuk pasien dari Anambas serta meminta tranparansi baik dari sisi rekrutmen tenaga kerja, kerjasama hingga pola pengelolaan CSR perusahaan,” pungkasnya.
BERITA TERKAIT: