Tak heran jika kemudian data Digital Civility Index atau DCI menempatkan netizen Indonesia sebagai yang paling tidak sopan se-Asia Tenggara.
"Penetrasi digital yang sangat besar, peningkatan pengguna internet yang semakin tinggi tentu saja harus didasari dengan rasa etika digital, dan pemahaman literasi digital," ujar Dosen Universitas Muhammadiyah Cirebon, Annisa Rengganis, dalam webinar nasional bertajuk "Menjadi Netizen yang Bijak" dan diunggah kanal YouTube Ditjen Aptika Kemenkominfo, yang dikutip redaksi, Selasa (13/2).
Menurut Annisa, setiap orang saat ini memiliki akses ke berplatform media sosial, bahkan lebih dari satu akun platform. Artinya masing-masing orang dengan sadar ingin melakukan komunikasi dan mendapatkan berbagai akses informasi dengan lebih cepat dan mudah melalui media sosial.
Nah, menjadi netizen yang bijak merupakan salah satu pilar yang berkaitan dengan etika digital, kata Anniesa.
Annisa memaparkan, berdasarkan data
Waldometers, jumlah pengguna internet dan media sosial di Indonesia pada 2024 mencapai 278.806.676 orang. Sementara menurut data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet, pada 2022-2023 pengguna internet di Indonesia mencapai 215.526.156. Lalu pengguna aktif media sosial di Indonesia berada di angka 167 juta orang.
"Pengguna media sosial di Indonesia paling banyak adalah gen Z yang berada di usia produktif. Lalu ada data yang menunjukkan setiap harinya masyarakat Indonesia menghabiskan waktu 8 jam sehari untuk berselancar di dunia maya, termasuk media sosial. Ini satu hal yang harus disadari, kalau kita tidak bisa memanfaatkan media sosial atau digital ini sebagai upaya mengakses informasi positif, akhirnya kita hanya akan banyak membuang waktu," tuturnya.
"Maka salah satu hal (yang bisa dilakukan) sebagai netizen yang bijak adalah, bagaimana pengelolaan waktu ini bisa optimal dengan melihat konten-konten yang edukatif, yang positif," sambungnya.
Annisa mengakui ada sejumlah manfaat positif dari media sosial. Antara lain kemudahan memperoleh dan menyebarkan informasi, media komunikasi yang relatif murah dan efisien, menghubungkan dan menjaga tali persaudaraan, juga meningkatkan kreativitas dan menjadi sarana hiburan.
Namun, media sosial juga memiliki dampak negatif. Di antaranya mengganggu kesehatan, mudah terbawa emosi, menimbulkan kecanduan dan mudah terpancing, aktivitas pertemanan berkurang, hingga timbul kejahatan di dunia maya.
"Media sosial itu seperti dua sisi mata uang yang berdampingan, kembali lagi tergantung siapa yang menggunakannya. Jadi harapannya, forum-forum seperti ini seharusnya bisa memberikan pemahaman literasi digital yang akhirnya kita bisa berkontribusi menjadi netizen yang bijak dalam bermedia sosial," jelasnya.
Annisa pun menekankan soal upaya masyarakat dalam menghilangkan dampak negatif dari media sosial. Terutama soal berita hoax.
"Maka setiap pengguna media sosial wajib hukumnya untuk berpikir kritis, kemudian melakukan verifikasi data, bahkan ada istilah dalam
digital native hari ini yaitu 'Saring before Sharing'. Ini upaya yang bisa dilakukan agar literasi digital kita bisa meningkat," tegasnya.
Adapun hal-hal sederhana yang bisa dilakukan untuk menekan dampak negatif dari media sosial antara lain tidak lagi curhat masalah pribadi di media sosial, jangan memberi komentar yang bisa memancing konflik. Dan yang utama adalah berpikir kritis dengan cara "saring before sharing". Lebih cermat dalam memilih dan memilah sebelum berbagi informasi.
"Sekali lagi, forum-forum seperti ini bisa dimanfaatkan untuk meningkatkan literasi digital kita," tandasnya.
Sementara itu, Anggota Komisi I DPR RI, Dave Akbarshah Fikarno Laksono, juga menegaskan bahwa pemahaman untuk menjadi netizen yang bijak sangat dibutuhkan untuk tahu cara yang benar dalam menggunakan media sosial, agar jangan sampai terjadi konflik atau kericuhan.
"Kita sebagai warga Indonesia punya kewajiban untuk melestarikan kebudayaan, ciri khas, dan kenusantaraan di era digital. Maka itu, kita harus selalu lebih bijak, selalu lebih tenang ketika membaca berita apapun, jangan mudah tersulut emosi. Justru kita harus jadi contoh dan panutan bagi warga sekitar atau bagi teman-teman," ucapnya.
Namun demikian, Dave mengajak masyarakat digital untuk tetap menggunakan media sosial sebagai wadah untuk menyiarkan informasi yang baik dan benar, untuk menyampaikan pemikiran.
"Jangan sampai (media sosial) menjadi forum untuk saling menyerang dan bisa menyebabkan perpecahan dan merusak persaudaraan kita," jelasnya.
Senada, pegiat media sosial, Prof Widodo Muktiyo, menyebut dua hal penting untuk menjadi netizen yang bijak. Pertama menjadi netizen yang baik, harus bisa mencerna oksigen pesan informasi digital. Kedua, memberikan alternatif semangat supaya masyarakat tidak terbawa kepada hal-hal negatif.
"Pemilu damai itu menjadi sarana integrasi dan persatuan bangsa, jangan sampai event lima tahunan ini membuat daya rekat kita ternodai, karena kita tak bisa menjadi netizen yang bijak," kata Staf Ahli Menkominfo bidang Komunikasi dan Media Massa ini.
Prof Widodo pun sepakat, untuk menjadi netizen yang bijak, harus bisa memahami literasi digital. Mempelajari kemampuan membaca dan menganalisis informasi dengan lebih cerdas.
"Menjadi netizen yang bijak adalah yang tetap mengagungkan nilai-nilai kemanusiaan," tegasnya.
BERITA TERKAIT: