Kenaikan pajak itu sendiri sesuai dengan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 1 Tahun 2024 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang telah ditetapkan pada 5 Januari lalu.
Ketua DPRD DKI Jakarta Prasetyo Edi Marsudi mengatakan, bila memungkinkan Perda Nomor 1 Tahun 2024 tersebut bisa dikaji ulang. Sebab, ada kekhawatiran kebijakan itu justru membuat pengusaha hiburan gulung tikar. Akibatnya, pendapatan asli daerah (PAD) merosot.
“Kalau itu membuat pengusaha bangkrut, pendapatan kita dari mana? Ini harus dikaji ulang,” kata Prasetyo dikutip dari laman DPRD DKI Jakarta, Kamis (18/10.
Oleh karena itu, sambung Prasetyo, diperlukan solusi terbaik mengatasi persoalan tersebut. Ia akan meminta dinas terkait menjelaskan kembali langkah terbaik mengantisipasi dampak lain dari kebijakan, seperti potensi pemutusan hubungan kerja (PHK) kepada para pekerja.
Bila banyak PHK sebagai dampak kebijakan tersebut, pastinya angka pengangguran di Jakarta meningkat. Sehingga menjadi kendala bagi Pemprov DKI dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Sebagai informasi, dalam aturan sebelumnya Perda DKI Jakarta Nomor 3 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Nomor 13 Tahun 2010 tentang Pajak Hiburan, di mana besaran tarif pajak diskotek, karaoke, kelab malam, pub, bar, live music, music dengan DJ dan sejenisnya hanya 25 persen. Sementara, tarif pajak panti pijat, mandi uap, dan spa hanya sebesar 35 persen.
BERITA TERKAIT: