Ketua Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis (Akses) sekaligus CEO Induk Koperasi Usaha Rakyat (INKUR), Suroto membeberkan berbagai karya almarhum yang bertebaran di berbagai media dan buku sejak era Orde Baru.
“Pak Djabar, menurut saya adalah perekam terbaik perjalanan sejarah gerakan koperasi Indonesia. Buku yang dapat dikatakan sebagai
magnum opus-nya adalah (buku) "Setengah Abad Pasang Surut Gerakan Koperasi Indonesia", yang diterbitkan oleh Dewan Koperasi Indonesia (DEKOPIN) tahun 1997. Dari buku ini kita disajikan rekaman seluruh perjalanan gerakan koperasi Indonesia dari sejak zaman kolonial hingga Orde Baru,” ucap Suroto dalam keterangannya, Jumat (3/11)
Di tangan almarhum, Suroto mengungkapkan buku-buku penting perkoperasian telah diterjemahkan. Di antaranya yang ditulis oleh Profesor Sven Ake Book, sebuah riset penting tentang nilai-nilai koperasi dalam era globalisasi, buku Profesor Peter Davis tentang Keunggulan Koperasi, dan buku Jatidiri Koperasi karya Prof Ian Macpherson.
“Beliau juga menulis beberapa kisah sukses koperasi dunia yang dirilis oleh International Cooperative Alliance (ICA),” tambahnya.
Latar belakang Djabar sebagai jurnalis dan pendiri beberapa media seperti PIP (Pusat Informasi Koperasi), membuat tulisan-tulisannya sangat tajam. Bahkan bisa membuat merah telinga bagi yang dikritiknya.
“Sebagai pembela koperasi sejati, analisa tulisannya selalu didasarkan pada nilai nilai dan prinsip koperasi. Namun, hobi menulis Pak Djabar memang sudah ada dari sejak muda. Dia menulis beberapa buku anak anak dan sebelumnya ketika tahun 1962-1963 sempat mengajar di SMA di Pasaman Sumatra Barat dan Sarjana Strata-1 STIA - LAN Administrasi Negara dan sempat melanjutkan kuliah di Rusia,” ungkap Suroto.
Tak hanya dalam karya jurnalistik, sambungnya, Djabar yang berlatar belakang pendidikan sebagai Pegawai Negeri Sipil ditugaskan ke Induk Koperasi Angkatan Laut (INKOPAL). Di sana, Djabar bertanggung jawab untuk mengembangkan dua hal, yaitu jurnalistik dan koperasi.
“Beliau sempat menjadi pengurus dari koperasi ini,” tuturnya.
Masih kata Suroto, pergaulannya yang luas di kalangan organisasi masyarakat sipil ( LSM) bersama pimpinan LP3ES, LSP, Bina Swadaya, Pekerti dan lain telah mendirikan FORMASI atau Forum Kerja Sama Pengembangan Koperasi dan pernah jadi ketuanya (periode 1993-1996), serta turut mendirikan Asian Women Cooperative Federation (AWCF) di Manila 1994.
“Setelah itu, sejak pensiun, tahun 1997, bersama tokoh tokoh koperasi lainya seperti Ibnoe Soedjono, Robby Tulus, M Taufiq, Andi Wahyu, Isminarti Tarigan dll mengembangkan Lembaga Studi Pengembangan Perkoperasian Indonesia ( LSP2I). Di lembaga inilah Pak Djabar menjadi semakin produktif menulis dan sebelum saya sempat menjadi ketua LSP2I, Pak Djabar menjadi pemimpin dari lembaga ini. Berbagai prosiding yang berisi tentang pembangunan koperasi di berbagai sektor lahir dari tangan dia di lembaga ini,” ungkapnya lagi.
Dia menambahkan bahwa Djabarrudin di masa-masa akhir hidupnya mulai rajin menulis tentang biografi keluarga dan juga buku-buku spiritual.
“Dia katakan pada saya ‘Anda kan suka menulis, jadi mestinya tulisan anda itu dibukukan. Supaya orang-orang membaca pemikiran anda lebih luas. Sekarang ini saya lihat sangat kurang orang yang mau menulis tentang koperasi’, demikian kata Pak Djabaruddin Djohan terakhir memotivasi saya ketika kami bertemu di kediamanya di daerah Condet. Buku antologi tulisan saya yang saya kemas dalam judul "Koperasi Lawan Tanding Kapitalisme" baru selesai draftnya, tapi beliau sudah meninggalkan kita semua,” kenang Suroto.
Djabarrudin Djohan meninggalkan seorang istri yang merupakan pelukis pastel terkenal Titis Djabarudin, dan tiga orang anak. Yaitu Ario yang bekerja di perusahaan swasta, Esti seorang pelukis dan Elan Satriawan yang merupakan tokoh Himpunan Mahasiswa Indonesia ( HMI), sekarang sebagai dosen UGM dan sebagai Staf Ahli Menteri Keuangan Republik Indonesia.
“Selamat jalan Pak. Kami akan teruskan perjuangan koperasi seperti yang sudah anda tulis. Semoga gerakan koperasi dan demokrasi ekonomi dapat terwujud segera di republik ini. Damailah di surga,” tutup Suroto.
BERITA TERKAIT: