Hal itu terungkap dalam Diskusi virtual bertajuk "Korupsi dan Tindak Kejahatan terhadap Perempuan" yang diinisiasi oleh Saya Perempuan Anti Korupsi (SPAK) pada Jumat (31/3).
Melihat fakta tersebut, Direktur Pembinaan Peran Serta Masyarakat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kumbul Kusdwijanto yang hadir dalam diskusi mengatakan, korupsi seksual hingga Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) adalah kejahatan yang diibaratkan seperti fenomena gunung es.
"Padahal kita juga harus memikirkan bagaimana bongkahan es di bawahnya, yang ternyata lebih besar. Misalnya, kasus TPPO yang terungkap mungkin sekian, tetapi yang tidak terungkap kita tidak tahu sebesar apa. Ini yang akan menjadi perhatian kita," ujar Kumbul.
Sehingga kata Kumbul, KPK siap melakukan strategi-strategi pemberantasan korupsi seksual dan TPPO dengan pendekatan Trisula Strategi Pemberantasan Korupsi, yakni strategi pendidikan, pencegahan, dan penindakan atau penegakan hukum.
"Pertama, pendidikan. Pendidikan ini kita perlu lakukan supaya masyarakat memahami, tidak terlibat, dan tidak ingin melakukan. Juga berani melapor. Kita tanamkan nilai-nilai integritas sehingga mereka memahami apa sih TPPO, dan mereka jadi paham cara untuk menangkalnya," kata Kumbul.
Selanjutnya soal pencegahan kata Kumbul, KPK ingin mendorong pembangunan sebuah sistem yang masif terkait tata kelola dengan aturan yang tidak tumpang tindih supaya tidak menjadi celah korupsi di ranah seksual. Dan ketiga soal penegakan hukum yang akan memberi efek jera pada pelaku supaya kejahatan tidak kembali berulang.
"KPK juga tentunya mendorong pemerintah daerah dalam menjalankan strategi tersebut. Kita melakukan edukasi, bagaimana membangun sistem di daerah. Kita juga mendorong kurikulum pendidikan dengan membuat pendidikan anti korupsi. Serta kita meminta pemerintah daerah duduk bersama dalam rangka meminimalisir terjadinya TPPO dan kejahatan seksual," jelas Kumbul.
Di kesempatan yang sama, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), I Gusti Ayu Bintang Darmawati mengatakan, korupsi dalam bentuk apapun sangat membawa kerugian besar bagi negara, apalagi korbannya perempuan dan anak.
"Dalam tatanan keluarga, istri sering dijadikan rasionalisasi perbuatan korupsi, perempuan sering dianggap pihak yang menyebabkan laki-laki melakukan korupsi, atau tuntutan istri adalah alasan suami melakukan korupsi. Untuk itu saya berharap, kita dapat membuka mata dan menjadi advokat yang bisa menciptakan, mempromosikan, dan memasifkan berbagai kegiatan perlawanan aksi korupsi. Bukan sekadar untuk mengatasi sosial ekonomi, namun juga untuk mempromosikan keadilan dan kesetaraan gender," katanya.
Sementara itu, Peneliti Sextortion, Theodora Putri mengungkapkan, keterkaitan hubungan seksual dengan korupsi ternyata cukup erat. Meski istilah korupsi seksual masih asing di telinga sebagian masyarakat. Namun, pada praktiknya, korupsi seksual tersebut sudah marak dilakukan sejumlah oknum.
Theodora menuturkan kejahatan tersebut masuk dalam bentuk korupsi seksual lewat gratifikasi seksual, suap seksual, dan sextortion. Gratifikasi seksual dan suap seksual terjadi apabila hubungan seksual dijadikan "fasilitas" dalam menyuap, biasanya disediakan oleh pihak yang berkepentingan dan "korban" datang tanpa paksaan (karena profesi).
Sedangkan pada sextortion kata Theodora, korban dipaksa menukar haknya dengan hubungan seksual yang tidak diinginkan. Misalnya, penyidik kepolisian yang memaksa menukar penahanan dengan hubungan seksual.
"Ada penyalahgunaan kekuasaan di dalam korupsi seksual," kata Theodora.
Selanjutnya, merujuk temuan SPAK terkait TPPO di Sulawesi Selatan, korupsi yang terjadi di ranah TPPO hingga perkawinan anak melibatkan pemalsuan dokumen identitas seperti KK, KTP atau markup umur, akta kelahiran, paspor, dan surat keterangan Kades, serta adanya pungli dalam perekrutan korban TPPO dengan iming-iming.
Diskusi Daring Korupsi dan Tindak Kejahatan terhadap Perempuan juga menghadirkan Perwakilan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Dahlia, Peneliti SPAK Indonesia Andi Yudha Yunus, Direktur Institute of Community Justice Makassar Warida Safie, sebagai pembicara.
Hadir pula Asisten Deputi Perlindungan Hak Perempuan Dalam Rumah Tangga dan Rentan Eni Widiyanti, Sekertaris Jenderal Koalisi Perempuan Indonesia Mike Verawati Tangka, dan Perwakilan Forum Anak Nasional Okta Laudea Angel sebagai penanggap, serta puluhan partisipan yang bergabung dalam diskusi.
BERITA TERKAIT: