Karena itulah, Lembaga Amil Zakat, Taman Zakat, menggelar talk show secara daring dengan tema "Parenting 4.0, Menjadi Orangtua Bijak di Era Digital" yang menghadirkan psikolog Anglis Ayu Anjarsari, Sabtu (23/7).
General Manajer Taman Zakat, Ziyad menyampaikan, kegiatan ini digelar karena banyaknya pemberitaan miring yang disebabkan karena kekurangpahaman orangtua tentang perkembangan teknologi.
“Padahal anak-anak sudah sangat akrab dengan gawai mereka. Orangtua tak akan bisa mengawasi anaknya yang sedang asyik bermain gadget,†katanya, dikutip
Kantor Berita RMOLJatim, Minggu, (24/7)
Dengan mengedukasi orangtua di era digital saat ini, lanjut Ziyad, tantangannya luar biasa. Karena semua bisa diakses, tinggal bagaimana mengantisipasinya.
“Orang tua saat ini tidak bisa boleh lagi menafikkan perkembangan teknologi di era digital,†katanya.
Hal itu dibenarkan oleh Founder Pusat Layanan Psikologi ALESIA Surabaya, Anglis Ayu Anjarsari, psikolog yang menjadi narasumber acara ini.
Menurutnya, di masa 4.0, orangtua tidak bisa mengkondisikan anaknya agar bisa steril dari gadget. Orang tua seharusnya tidak menghindar, namun mengatur langkah bijak yang proporsional untuk mengawasi anak dalam penggunaan gadget.
Ia menjelaskan, ada empat hal yang harus dilakukan orangtua dalam mengawasi anaknya di era digital. Pertama, orangtua tidak boleh gaptek.
“Mau tidak mau, orang tua harus belajar digital. Anak kita hidup di zaman ini. Kita harus mempelajari berbagai platform. Agar bisa memahami bagaimana caranya bisa mentracking apa yang sudah dilakukan anak dalam gadgetnya,†pesannya.
Kedua, membuat kesepakatan pengasuhan. Misalnya kesepakatan durasi, varian akses apa saja yang tidak boleh ditonton dan tidak.
“Jika bertemu hal yang tidak seharusnya ditonton, kita harus ajarkan bagaimana mengcounter, misalnya mengklik tanda silang di pojok,†paparnya.
Orangtua juga seharusnya banyak tahu konten mana yang mengandung pornografi, kekerasan atau kata-kata kasar, agar bisa lebih waspada apabila anak membuka konten itu.
Mendampingi anak bersama gadgetnya, menurut Anglis, harus dengan keterbukaan dan dialog dua arah. Ia juga menyarankan, sebaiknya status gawai yang diberikan ke anak adalah pinjam orang tuanya, bukan miliknya sendiri.
“Beda rasanya, jika miliknya sendiri dan milik orang tuanya. Agar anak paham jika orang tuanya selalu berhak membuka dan mengambil gadget yang dipakainya.,†tutur Anglis.
Ketiga, menghadirkan figur asuh yang kompeten. Orang tua dituntut terus belajar sehingga kompeten mendampingi tumbuhkembang anak.
Keempat monitoring secara kontinyu. Mengasuh anak, menurutnya punya waktu yang panjang. Bahkan sampai orangtua itu meninggal.
Menurutnya, monitoring berarti orang tua melakukan pengamatan, tidak sekadar melihat apa yang dilakukan anak.
“Jika hanya melihat, orangtua akan cukup tenang ketika melihat anaknya diam, tidak menganggu kakaknya misalnya,†katanya.
Pengamatan, ditegaskan Anglis, jauh lebih dari sekadar melihat. Orangtua harus tahu sebab diamnya sang anak. Jika sebab diamnya karena asyik menonton Youtube, orangtua harus tahu dan memastikan apa yang ditonton aman untuknya.
“Pengamatan ini bahkan sampai membuat orangtua memahami kebiasaan yang dilakukan ananda kesehariannya,†jelasnya.
Pengamatan kepada anak ini, harus terus dilakukan dengan terus melakukan komunikasi intensif kepada anak.
BERITA TERKAIT: