Demikian disampaikan Ketua Umum Koalisi Rakyat Pemerhati Jakarta Baru (Katar), Sugiyanto, melalui keterangan tertulisnya, Sabtu (18/4).
Sugiyanto menduga kisruh sewa lahan ribuan menara mikrosel tersebut hingga kini belum ada penyelesaiannya.
Sedangkan berdasarkan hasil rekomendasi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Perwakilan DKI Jakarta tahun 2017, menegaskan bahwa Gubernur DKI Jakarta melalui Badan Pengelolahan Aset Daerah (BPAD) agar membuat perjanjian pemanfaatan lahan untuk menara mikrosel sesuai ketentuan yang berlaku.
Dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK, Buku III, halaman 149-154 disebutkan, permasalahan itu mengakibatkan hilangnya potensi penerimaan dari pemanfaatan aset milik Pemprov DKI Jakarta yang tidak didukung perjanjian kerjasama yang memadai,†kata Sugiyanto, dikutip
Kantor Berita RMOLJakarta.
Sugiyanto mengungkapkan, bila saja sewa lahan per titik tiang mikrosel diasumsikan sebesar Rp 50 juta-Rp 150 juta, maka potensi hilangnya penerimaan DKI Jakarta sejak perjanjian kerja sama tahun 2014 sampai tahun 2020 bisa mencapai sebesar Rp 2 triliun-Rp 5 triliun.
Saat diminta membayar sewa lahan, sejumlah perusahaan pemilik tiang mikrosel malah bersurat ke Mendagri. Mereka merasa tak mempunyai kewajiban membayar sewa lahan kepada Pemprov DKI Jakarta, karena sudah dikenakan retribusi.
Hal ini diperkuat oleh surat jawaban Dirjen Bina Keuangan Kemendagri yang menjelaskan tiang mikrosel tak dapat ditarik sewa menyewa aset karena telah menjadi objek restribusi daerah dengan besaran Rp 1 juta per titik tiang.
"Meskipun ada surat dari mendari No 974:1422/KEDUA tanggal 21 Maret 2018 itu, tetap hasil Laporan Hasil Pemeriksaan dan rekomendasi BPK tahun 2017 itu mengikat dan wajib dipatuhi. BPK juga merujuk aturan Mendagri No. 19 Tahun 2016 tentang Pedoman Pemanfaatan Barang Milik Daerah. Intinya harus membayar sewa lahan,†tegas Sugiyanto.
Lebih lanjut Sugiyanto mengatakan, masalah mikrosel terjadi karena perjajian pengikatan kerja sama antara Pemprov DKI Jakarta dan pihak ketiga (pengusaha) mengunakan Pergub No 195 Tahun 2010 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Penempatan Jaringan Ultilitas, yaitu untuk jaringan pipa dan kabel, dan bangunan pelengkap mikrosel. Aturannya hanya mewajibkan membayar restribusi.
Sedangkan 5.507 menara mikrosel yang dibangun di atas lahan aset milik Pemprov DKI Jakarta itu adalah bukan bangunan pelengkap untuk mendukung jaringan pipa dan kabel, melainkan menara mikrosel yang dibangun untuk tujuan penunjang jaringan telekomunikasi.
"Yang lebih mendekati itu mengunakan Pergub No 14 Tahun 2014 Tentang Penyelengaraan Menara Telekomunikasi, tetapi harus bayar sewa lahan. Dan ada kewajiban partisipasi dan kontribusi dari pihak ketiga untuk mendukung Jakarta sebagi Smart City, yaitu dengan menyediakan akses Wifi gratis, fiber optik, fasilitas CCTV, video surveillance, dan lainnya,†ungkap Sugiyanto.
Pemberian izin pendirian 5.507 mikrosel juga diduga direkayasa. Agar tidak membayar sewa lahan diduga mengunakan aturan Pergub No 195 Tahun 2010 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penempatan Jaringan Ultilitas.
"Untuk antisipasi tuntutan sewa lahan, dimasukan klausul partisipasi Pergub Telekomunikasi (Pergub No.14 Tahun 2014) untuk Smart City, yaitu fasilitas CCTV dan lainnya, lalu mereka meminta diperhitungkan sebagai sewa lahan, padahal itu adalah kewajiban,†ucap Sugiyanto.
Dalam LHP BPK disebutkan bahwa dari 5.507 menara mikrosel adalah milik dari 9 perusahaan penyedia infrastruktur menara mikrosel, yaitu PT. DT 228 mikrosel, PT DAS 11 mikrosel, PT BITTN sebanyak 335 mikrosel, PT BTS sebanyak 3.338 mikrosel, PT QI 12 mikrosel, PT ISI 396 mikrosel, PT MDC sebanyak 400 mikrosel, PT IBS 744 mikrosel, dan PT MTI sebanyak 23 mikrosel.
"Saya sudah pernah laporkan kasus ini ke KPK. DPRD DKI Jakarta juga pernah ingin membuat pansus mikrosel, tapi mandek, ada apa? Dewan jangan memble. Bantu Gubernur Anies minta dana sewa lahan mikrosel yang diduga belum dibayar itu untuk PSBB dan penangan Covid-19 Jakarta,†pungkas Sugiyanto.
BERITA TERKAIT: