Badan Pajak dan Retribusi Daerah (BPRD) DKI Jakarta APBD-P 2019 mepaparkan untuk pajak rokok tergetnya Rp 620 miliar, realisasi per 26 November Rp 533,11 miliar, selisihnya Rp 86,8 miliar sedangkan pajak hiburan tergetnya Rp 850 miliar, realisasi per 26 November Rp 743, 2 miliar, selisihnya Rp 106,7 miliar.
Ketua DPRD dan sekaligus pimpinan rapat, Prasetyo Edi Marsudi menyinggung kinerja Pemprov yang terlalu normatif dan tidak objektif.
"Kalau saya lihat ini kerja cuma normatif. Juga jangan pengusaha ditakut-takutin dengan oknum DKI yang datang ke lokasi tempat usaha. Masalah rokok, jangan dibuat satu peraturan yang mencoba-coba terus. Coba kasih mereka kesempatan untuk menyediakan smoking area dan no smoking area. Ini sensitif sekali karena soal (pengurangan) pendapatan", katanya saat rapat Banggar berlangsung, Jakarta, Selasa (26/11).
"Saya minta Pak Sekda sampaikan ke Pak Gubernur buat peraturan jangan subjektif tapi objektif. Karena itu merugikan pajak rokok," tambahnya.
Menanggapi pernyataan Prasetyo, Sekretaris Daerah DKI Jakarta (Sekda), Saefullah mengatakan tentang mekanisme penarikan pajak tidak dengan cara menakui-nakuti. Pihak Pemprov, kata Saefullah selalu menggunakan berbagai metode.
"Tentang penarikan pajak seperti saran Ketua yang jangan menakut nakuti. Kita ada tim percepatan pendapatan. Kita rapat setiap minggu," katanya.
Sedangkan Kepala BPRD DKI, Faisal Syafruddin berdalih sejatinya ada penurunan serta hambatan dalam pajak, sehingga target penerimaan pajak belum mampu sesuai target.
"Pajak hiburan, ada tren perubahan lokasi pajak hiburan ke luar DKI karena DKI tidak punya tempat yang besar untuk hiburan kita. Ini berpotensi menurunkan pajak hiburan. Ada sinyalir dari Pak Ketua adanya Perda rokok menjadi salah satu hambatan penyebab penurunan realisasi pajak rokok," jelasnya.
Pierre Immanuel Ombuh
BERITA TERKAIT: