Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Ramadan Sarana Untuk Mengembalikan Fitrah Kemanusiaan Dan Kebangsaan

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/'></a>
LAPORAN:
  • Rabu, 29 Mei 2019, 06:46 WIB
Ramadan Sarana Untuk Mengembalikan Fitrah Kemanusiaan Dan Kebangsaan
Achmad Mubarok/Net
rmol news logo Ramadan adalah bulan menahan nafsu kebinatangan dan kesetanan seperti syirik, sombong, dengki, brutal, kekerasan, dan vandalisme yang seringkali merusak fitrah kemanusiaan.
HUT 79 RI

Seseorang yang kembali kepada fitrahnya, mempunyai makna berada dalam kesucian dan keyakinan asli sebagaimana saat ia dilahirkan.

Gurubesar bidang Psikologi Islam dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Achmad Mubarok mengatakan bahwa fitrah manusia tercermin dalam tindakan berpuasa seperti menahan diri, bekerjasama, saling berbagi, menyebarkan kebaikan.

“Karena secara sosial kita semangatnya memberi. Karena psikologi Rahma itu pertama, penuh perhatian kepada orang, kedua, semangat ingin memberi, ketiga, memaklumi kekurangan orang, keempat, memaafkan kesalahan orang. Itu secara sosial. Jika orang seperti itu maka dia akan  mengarah kepada fitrah,” ujar Achmad Mubarok di Jakarta.

Rasionalnya, lanjut dia, ada ketertiban yang mesti dijaga dan kesemua itu harus mempunyai rasa keadilan. Kalau rasa keadilan itu tercabut akan memancing orang untuk berbuat anarki atau munafik.

"Jadi yang namanya cinta tanah air itu bagian dari iman itu adalah khas Indonesia. Kemudian patuh kepada pimpinan. Tetapi pimpinan itu akan dipatuhi jika dia kontribusinya jelas dan amanah. Maka itu akan ada rasa saling mengisi dan memiliki fungsi.. Karena pemimpin yang dipatuhi secara alamiah yaitu matahari, untuk itulah dibutuhkan matahari bangsa,” kata pria kelahiran Purwokerto, 15 Desember 1945 ini.

Sifat  matahari ketika terbit orang akan bangun. Lalu ketika matahari naik, maka orang akan kerja. Demikian pula ketika matahari mulai turun, orang akan istirahat. Dan ketika matahari tenggelam, orang akan tidur. Dan ketika matahari terbit, bintang tidak akan nampak.

"Mengapa orang patuh kepada matahari? Karena matahari itu konsisten di dalam memberi kontribusi, kehangatan, keterangan dan sebagainya. Tapi kalau bangsa ini tidak punya pemimpin matahari, maka akan banyak bintang-bintang politik. Akibatnya persatuan ini agak susah diatur," ujar Ketua Harian Yayasan Amanah Kita ini menjelaskan.

Untuk itulah menurutnya, masyarakat harus dapat memakna fitra dan implementasi untuk keadilan sosial bagi masyarakat Indonesia itu sendiri.

Contoh lain yakni pohon yang meski digunting-gunting akan tumbuh daun-daun baru.

“Jadi kalau kita memberi, justru ini akan bertambah yang segar. Dan sumber-sumber budaya itu juga merupakan ajaran agama," kata  Wakil Ketua Lembaga Perguruan Tinggi Nahdlatul Ulama (LPTNU) ini.

Seperti halnya dasar negara, Pancasila yang bandingannya hanya Piagam Madinah dari Rasul Muhammad SAW. Pigama Madinah itu  sangat luar biasa sekali dalam upaya mempersatukan antarumat yang berbeda-beda.

"Problem di Indonesia ini adalah bagaimana membumikan Pancasila itu sendiri. Jadi  bukan sibuk saya Pancasila. Bukan seperti itu. Tetapi bagaimana membumikan Pancasila dalam kehidupan berpolitik, kehidupan ekonomi, kehidupan sosial," tutur mantan anggota MPR ini.

Di Selandia Baru, sebuah negara dengan standar kebahagiaan yang tinggi dan bisa menjadikan masyarakatnya merasa nyaman. Hal ini, menurut Mubarok, dikarenakan keadilan benar-benar ditegakkan dan bahkan pemimpinnya sangat ketat di dalam menjaga norma-norma.

“Di Selandia Baru karyawan itu gajinya cukup untuk hidup dengan standar. Tidak ada dibawah garis kemiskinan. Sementara di Indonesia  tantangannya, sangat besar yang mana penduduknya sangat banyak, tingkat pendidikannya juga tidak merata maka diperlukan pemimpin yang betul-betul kuat, dan konsisten. Ini yang menjadi tantangan di  Indonesia hingga sekarang," katanya.

Lebih lanjut Mubarok mengatakan, seseorang yang kembali kepada fitrahnya, mempunyai makna berada dalam kesucian dan keyakinan asal sebagaimana saat ia dilahirkan.

"Suci  itu unsurnya ada tiga yaitu baik, benar dan indah. Kalau tidak baik, pasti tidak Indah. Kalau tidak benar, pasti juga  tidak indah. Jadi kalau kita menjaga kesucian pergaulan, kesucian cita-cita, kesucian perjuangan tentunya harus dilakukan dengan benar, pendekatan yang baik," papar mantan Wakil Ketua Komisi Kajian Majelis Ulama Indonesia (MUI) ini.

Untuk itulah menurutnya dalam membangun fitrah sosial di kehidupan bangsa ini harus selalu dengan menyosialisasikan tentang kebenaran dan kebaikan. Sehingga dapat diperoleh hasil yang harmoni antara yang satu dengan yang lainnya.rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA