Peran Kominfo Sebagai Regulator Mulai Diminimalisir

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/'></a>
LAPORAN:
  • Senin, 17 Desember 2018, 18:58 WIB
rmol news logo Kementerian Komunikasi dan Informasi yang selama ini berwenang membuat regulasi, termasuk aturan dan izin sekarang sudah berubah. 

"Terus, apakah tidak berperan sebagai regulator? masih. Tapi bagaimana mengatur regulator itu sesedikit mungkin mengatur," kata Menteri Kominfo Rudiantara saat membuka Lokakarya Nasional Literasi Digital yang digelar Perkumpulan Gerakan Kebangsaan (PGK) di Jakarta, Senin (17/12).

Rudiantara mencontohkan operator seluler. Untuk menghindari praktik-praktik kotor maka tetap diwajibkan minta izin.

"Kalau operator tidak pakai izin dia akan semena-mena terhadap pelanggannya. Dia akan charge teman-teman di sini semua suka-sukanya. Jadi di situlah peran regulator, masuknya pemerintah karena ada kepentingan masyarakat banyak," ujarnya.

Namun jika bargaining power atau daya tawar kedua pihak seimbang, regulator sudah tidak diperlukan lagi.

"Contoh operator seluler yang dia pakai tower baik membangun maupun menyediakan Tower. Kalau zaman dulu maunya diatur aja, saya bilang nggak usah, biarin aja. Namanya bisnis kok. Operator tidak bisa deal dengan satu penyelenggaraan tower, dia bisa cari yang lain. Juga yang punya tower tidak bisa  disewakan ke operator, dia bisa cari yang lain. Jadi ada simetri bargaining power, simetri daya tawar," terang Rudiantara.

Langkah lain dalam konteks regulator adalah bagaimana menyederhanakan perizinan.

"Sebelum saya bergabung dengan pemerintah, saya sebelumnya belum pernah dengan pemerintah. Izin jenisnya itu di Kominfo ada 36, sekarang tinggal lima. Sederhanakan saja kalau tidak perlu izin, ngapain minta izin," kata Rudiantara.

Kemudian cara minta izinnya pun dipercepat, seperti laundry dengan slogannya same day service.

"Jadi kalau izin prinsip dimintakan 10 jam, 11 jam, hari yang sama, sore sudah keluar. Jadi mudahkan, mudahkan, mudahkan. Start up kita tahu, digital startup itu tidak perlu minta izin ke Kominfo cuma registrasi, daftar sendiri, yang penting ada akta pendirian, perusahaan dan NPWP," ujar Rudiantara.

Sehingga kalau suatu saat pemerintah memberikan insentif dapat ditelusuri by name dan by address.

"Nah pemerintah bergerak dari regulator menjadi fasilitator, memfasilitasi industri sektor bicara, dengar," kata Rudiantara.

Pemerintah juga memfasilitasi dalam konteks infrastruktur. Misalnya di Jakarta pakai 4G rata-rata 7 megabyte per second merujuk survei Open BTS tapi masyarakat di Papua dan Maluku trubutnya cuma 300 kilobyte per second.

"Seper 23 kali kita yang tinggal di Jakarta atau mampir ke Jakarta. Tapi mereka bayarnya lebih mahal. Jadi sudah lebih lemot, lebih mahal, itu tidak fair buat kita. Jadi pemerintah mengambil namanya afirmatif policy, kebijakan keberpihakan. Kenapa, kalau kita menunggu operator di sana, operator itu kan bisnis. Jadi mereka bilang tidak ada pelanggannya di sana, orangnya cuma sedikit. Saya bilang, oke, saya yang bangun. Pemerintah kan tidak bisnis, ini visible atau tidak, ini balik modal atau tidak," papar Rudiantara.

Ketua Umum DPP PGK Bursah Zarnubi pun sependapat pentingnya literasi agar generasi muda bisa keluar dari kegagapan teknologi digital.

"Contohnya di media sosial itu informasi banyak yang bersifat merusak atau informasi sampah teks news report. Di situlah pentingnya kita menggunakan akal sehat dalam menyaring setiap informasi," jelas Bursah.

Lokakarya sekaligus Rakornas PGK diikuti sekitar 270 kaum milenial yang aktif di berbagai organisasi mahasiswa dan pemuda, terutama kelompok Cipayung. Mereka mewakili seluruh provinsi dari Sabang sampai Merauke. Lokakarya digelar selama 16-18 Desember. [wah]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA