Demikian disampaikan Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Sutopo Purwo Nugroho dalam keterangan tertulis yang diterima redaksi, Minggu (9/10).
Hingga kemarin siang, tercatat 1.763 korban meninggal dunia akibat gempa dan tsunami di Sulawesi Tengah. Bencana alam Sulteng pada 28 September lalu juga disertai dengan likuifaksi alias pencairan tanah.
BNPB menerangkan ada lima syarat terjadinya Likuifaksi:
pertama, lapisan tanah berupa pasir, kerikil, batuan apung dan tidak lengket, bersifat lepas (gembur);
kedua, kedalaman muka air tanah tergolong dangkal (kurang dari
10 meter dari permukaan tanah).
Ketiga, goncangan gempabumi lebih dari 6 skala richter;
keempat, durasi goncangan gempabumi lebih dari 1 menit; dan
kelima, percepatan gempabumi lebih dari 0,1 g.
Adapun tipe perpindahan lateral akibat likuifaksi ada tiga:
pertama, menyebar secara bebas ke berbagai arah;
kedua, meluncur sesuai bidang luncur pada lereng menurun; dan
ketiga, muncul di berbagai tempat di beberapa titik.
Sementara itu, BNPB merilis peta zona bahaya likuifaksi di Kota Palu, Sulteng.
Pertama, pada tahun 2012 telah dilakukan penelitian oleh Badan Geologi mengenai likuifaksi di Kota Palu. Hasil dari penelitian tersebut
menunjukkan bahwa wilayah Palu merupakan wilayah dengan potensi likuifaksi sangat tinggi.
Kedua, adanya likuifaksi saat gempa menyebabkan kerusakan bangunan dan korban jiwa di Kota Palu lebih besar dibandingkan dengan daerah lain.
Ketiga, perlu dilakukan pemetaan mikrozonasi gempa dan likuifaksi sehingga sebaran daerah gempa dan likuifaksi dapat dipetakan secara detil.
Keempat, peta mikrozonasi tersebut digunakan sebagai evaluasi untuk penataan ruang Kota Palu.
[rus]
BERITA TERKAIT: