KLHK Dianggap Enggak Paham UU

Sabtu, 09 Desember 2017, 09:10 WIB
KLHK Dianggap Enggak Paham UU
Siti Nurbaya Bakar/Net
rmol news logo Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang dipimpin Siti Nurbaya Bakar dituding tidak paham Undang-Undang.

Hal ini terkait berlarut-larut­nya permohonan yang diajukan PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) terkait SK SK 5322/ MenLHK-PHPL/UHP.1/10/2017 tentang Pembatalan Rencana Kerja Usaha (RKU) yang dikeluarkan KLHK.

KLHK dianggap tidak mema­hami Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Padahal dalam UUtersebut jelas mengatur jika dalam waktu 10 hari tidak dir­espon maka keputusan tersebut bisa batal.

"UUNomor 30 tahun 2014 ini baru.Banyak lembaga negara yang belum faham bahwa ada konsekwensinya ketika ada sebuah permohonan itu tidak dijawab," kata Hamdan Zoelva, kuasa hukum PTRAPP di Jakarta, kemarin.

Menurutnya, terkait permo­honan tersebut sebelum ada UUNomor 30 tahun 2014 sebut fiktif negatif. Sehingga jika dalam waktu 120 hari ada permoho­nan yang tidak dijawab maka permohonan tersebut dianggap ditolak.

Sementara sekarang ini ketika diberlakukan UUNomor 30 tahun 2014, maka jika dalam waktu 10 tidak dijawab maka permohonan tersebut diang­gap dikabulkan. Yang dilaku­kan RAPP terkait keberatan terkait SK SK 5322/MenLHK-PHPL/UHP.1/10/2017 tentang Pembatalan Rencana Kerja Usaha (RKU) sudah sesuai UU.

"Ini (UUNomor 30 tahun 2014) banyak yang gak ngerti. Mungkin juga kementerian belum faham sehingga santai menanggapinya apabila ada pihak yang memohon. Padahal ada batas waktunya," tegas Hamdan.

Beberapa hari setelah KLHK mengeluarkan SK 5322/MenLHK-PHPL/UHP.1/10/2017, jelasnya, PTRAPP memang dipanggil. Bahkan saat itu sekitar 2,5 jam KLHK membicarakan terkait SK tersebut.

Namun yang disampaikan KLHK hanya bersifat lisan. Sementara yang dibutuhkan PTRAPP adalah notulensi atau cata­tan atas dikeluarkan SK tersebut. Selain itu, yang menyampaikan juga bukan pihak dari menteri tapi kesekjenan KLHK. Oleh karena itu pihaknya mengaju­kan permohonan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta.

"Kami minta 10 hari tapi tidak direspon maka kami ajukan ke PTUN agar SK itu dibatalkan. Menggugat negara itu diboleh oleh UU. Karena negara itu tidak selalu benar. Yang kami gugat itu kesewenangannya," tegasnya.

Dalam kesempatan ini Hamdan juga menegaskan, jika keberatan atas terbitnya SK 5322/MenLHK-PHPL/UHP.1/10/2017 yang diajukannya ditolak Majelis Hakim PTUN maka pihaknya menyarankan agar PTRAPP menghentikan semua kegiatan atau aktivitas baik penanaman atau pun pembibitan.

Karena jika hal tersebut di­lakukan PTRAPP maka bisa me­langgar hukum. "Kalau ini tidak selesaikan secara cepat. Saya sarankan RAPP untuk hentikan semua kegiatan. Karena itu pe­langgaran hukum," paparnya.

Sidang di Pengadilan Tata Usaha Negara ini bergulir setelah KLHK menerbitkan SK Menteri LHK tentang pembatalan kepu­tusan Menteri Kehutanan No. SK.93/VI BHUT/2013 ten­tang persetujuan revisi Rencana Kerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman Industri (RKUPHHK HTI) untuk jangka waktu 10 tahun periode 2010 -2019.

Dengan pembatalan tersebut, RAPP mengajukan keberatan karena RKU yang dimiliki masih berlaku hingga 2019. PTRAPP mengajukan permohonan berdasarkan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA