Padahal 12 September mendaÂtang sudah masuk tahapan penÂjaringan calon perseorangan atau independen. Kondisi ini rawan molornya Pilkada Talaud.
Pengamat politik Sulut, Ferry Liando menduga ada muatan politis dengan sengaja menahan NPHD agar tidak ditandatanÂgani. "Karena sudah pasti, jika NPHD belum disetujui, maka akan mengganggu tahapan pilkada. Dengan begitu kemugÂkinan potensi adanya penundaan pilkada biasa saja terjadi," ujar Ferry, kemarin.
Lanjut dosen Fispol Unsrat mensinyalir ada pihak memang sengaja ingin menunda proses Pilkada Talaud. Dia menduga pihak itu adalah calon yang ingin maju tapi masih ada kendala. Seperti partai pendukung belum jelas. "Atau bisa saja ingin maju pada penjaringan calon perseÂorangan, tapi belum tuntas duÂkungan KTP-nya. Sehingga cara yang dilakukan adalah berusaha menunda tahapan pilkada itu sendiri," bebernya.
Menurut Liando, waktu sanÂgat sempit. "Sebab tahapan akan dimulai bulan depan unÂtuk penjaringan badan ad hoc. Maka September ini, seharusnya NPHD sudah siap," harapnya.
Senada disampaikan pengamat lain, Maxi Egeten. Menurutnya hibah anggaran pilkada dari APDB daerah penyelenggara adalah hal wajib yang harus dipenuhi. "Kebijakan penyeÂlenggaraan pilkada harus dibiÂayai oleh APBD. Jadi NPHD merupakan bagian dari kesÂepakatan dengan melewati beÂberapa mekanisme. Pun daerah harus membiayai (pilkada), karena merupakan amanat unÂdang-undang dan dikuatkan Permendagri," tegasnya.
Dosen Fispol Unsrat ini meÂnilai, harus ada sanksi dari pusat kepada daerah yang pilkadanya tertunda karena permasalaÂhan NPHD. "Kami mengkritik daerah yang NPHD belum ditanÂdatangani. Harusnya daerah ini harus respek dengan penyelengÂgaraan pilkada. Menurut saya, kalau daerah tidak komit dengan hal ini, seharusnya diberi sanksi tegas oleh pemerintah pusat," terangnya.
Lanjutnya, sanksi itu bisa beruÂpa pemotongan anggaran sehingÂga tidak meremehkan pelaksanaan Pilkada Serentak. ***
BERITA TERKAIT: