"Yang kami ketahui ada di dua titik HTB di Kepri yakni di Pulau Rempang yang luasnya kira-kira 16.000 hektare dan di Kecamatan Sekupang, Batam dengan luas sekitar 3.000 hektare," katanya kepada wartawan di Jakarta, Jumat (25/12).
Dijelaskan Blasius, HTB ditetapkan sejak pemerintahan Presiden Soeharto sesuai Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: SK 307/KPTS-II/1986 tentang Hutan Taman Buru di Pulau Rempang. Hal itu dipertegas melalui surat Direktur Perencanaan Kawasan Hutan Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan Kementerian Kehutanan Nomor S.238/REN-2/2014 yang dikirimkan ke Himad Purelang tanggal 10 Juli 2014.
Dia menceritakan, dulu hanya ada transportasi ke HTB hanya melalui jalur laut dengan menggunakan sampan kecil dan pompong atau sampan bermesin.
"Hutan itu sangat memberi manfaat bagi masyarakat Kepri saat itu. Bahkan kawasan hutan itu menjadi salah satu tujuan wisatawan dari negara tetangga Singapura dan Malaysia," beber Blasius.
Akan tetapi, yang terlihat saat ini semua HTB itu hampir musnah. Padahal, sejak Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan sampai Siti Nurbaya terus diingatkan agar pemerintah menjaga, bukan malah memusnahkan HTB itu. Terakhir melalui surat Nomor: 9I/Pengurus Pusat/HIMAD PURELANG/X/14 tanggal 31 Oktober 2014 warga melaporkan adanya aksi pengrusakan di HTB. Tapi kemudian muncul SK Nomor: 76/MenLHK-II/2015 tanggal 6 Maret 2015 tentang kawasan hutan di Provinsi Kepri.
"Masak SK 76/MenLHK-II/2015 yang lahir karena SK 867/Menhut-II/2014 dikalahkan oleh PTUN Tanjangpinang, buah dari gugatan Kadin Batam. Lalu SK 76/MenLHK-II/2015 itu bisa dengan seenaknya memusnahkan SK 307/KPTS-II/1986. Akibatnya, HTB di Rempang sekarang luasnya hanya jadi 3.400 hektar," ungkap Blasius.
Konsekuensinya, Pemkot Batam dan BP Batam mendapat durian runtuh berupa perluasan wilayah sekitar 12.600 hektar. Buktinya, sebelum sah pelepasan itu, pemkot sudah berlomba-lomba membagi tanah kepada pengusaha.
Saat ini, negara melalui DPR malah tanpa sadar terlihat senang membahas pemusnahan hutan itu. Kabarnya mereka akan mengesahkan pemusnahan itu agar menjadi sah secara hukum.
"Sekarang ini kan terbalik. Kok DPR mau disuruh-suruh mengutak-atik SK 76/MenLHK-II/2015 untuk disahkan secara terselubung sehingga tanpa sadar DPR akan secara langsung mematikan SK 307/KPTS-II/1986," jelas Blasius.
DPR jangan terjebak cara-cara yang seperti benar adanya dengan melakukan pembahasan SK 76/MenLHK-II/2015 padahal itu bersumber dari SK 867/Menhut-II/2014 yang dikalahkan oleh PTUN Tanjungpinang yang keberadaan SK itu sama sekali tidak ada kaitannya dengan SK 307/KPTS-II/1986.
"Kami meminta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang diisi orang-orang muda, mulailah memonitoring SK 76/MenLHK-II/2015 sampai dengan pembahasannya di DPR saat ini," tegas Blasius.
[wah]
BERITA TERKAIT: