Dalam satu poin penjelasan, Sultan memaparkan secara khusus alasannya mengganti nama Buwono menjadi Bawono.
"Buwono meniko jagat alit, jagat cilik, jagat kecil. Bawono jagat ageng, jagat besar. Dados menawi buwono meniko daerah nggih bawono meniko nasional. Menawi buwono nasional nggih bawono internasional," kata Sultan di hadapan perwakilan masyarakat di pendopo kediaman Gusti Kanjeng Ratu Mangkubumi di Keraton Kilen, Yogyakarta, Jumat (8/5) petang.
Dalam bahasa Indonesia, menurut Sultan, Buwono dapat diartikan sebagai jagat alit sedang Bawono jagat ageng. Bila dianalogikan, makan Buwono berada di lingkup nasional, maka Bawono menjadi lebih luas, yakni di lingkup internasional.
Sementara penyebutan kosedoso yang artinya kesepuluh tidak bisa diartikan sebagai kaping sedoso sebagai bentuk 'lirgumanti'.
Terkait perubahan tersebut, Sultan menekankan, masa berlaku Sabda Raja dimulai sejak pertama kali disampaikan.
"Sejak pertamakali disampaikan sudah berlaku, tetapi di lingkungan Kraton, bukan Jogja," terangnya
Sultan juga menegaskan bahwa Kraton saat ini memasuki era modern dan menyesuaikan dengan perkembangan zaman. Perjanjian antara Ki Ageng Pemanahan dan Ki Ageng Giring eranya sudah berubah karena termasuk alur historis Mataram lama yang berasal dari zaman Ken Arok, Pajang hingga Mataram lama.
Sementara Mataram baru berawal dari era Panembahan Senopati hingga keturunan raja hingga saat ini dengan keyakinan garis darah keturunan tidak berbelok.
[wid]
BERITA TERKAIT: