Dengan membawa sound system 5000 watt di atas mobil minibus, mereka memutar lagu berjudul Tikus-tikus Kantor ciptaan Iwan Fals yang diperdengarkan ke arah kantor Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN yang digawangi Ferry Mursyda Baldan.
"Saat berunjuk rasa di depan kantor Pak Menteri Ferry saya baru memahami makna lagu yang syairnya kurang lebih menggambarkan penggerogot kepentingan orang banyak," ujar anggota Pengawas Himad Purelang, Rani, dalam keteranganya, Jakarta, Kamis (26/3).
Bagi pria berdarah Melayu kelahiran Tanjung Kalingking tahun 1959 ini arungan laut Kepri sudah teramat panjang dilalui namun dia tetap berjuang agar sertifikat tanah segera diterbitkan.
"Sebab, sejak tahun 1993 saat presiden Soeharto 'merampasnya' lalu memberikannya menjadi hak pengelolaan lahan (HPL) ke Otorita Batam (OB, sekarang BP Batam) melalui sebuah keputusan presiden (Keppres). Itu untuk menambahi HPL mereka di atas pulau Batam. Itulah awal masalah yang menimpa kami," ucap dia.
Rani yang bekerja sebagai nelayan di rangkaian pulau-pulau Rempang Galang Kota Batam mengatakan bahwa perjuangannya bersama warga lainnya dari berbagai lapisan suku dan agama di wilayah itu untuk memberi gambaran bagaimana memperjuangkan tanah kelahiran mereka yang menjadi bermasalah.
"Akar masalah itu yang ingin kami sampaikan kepada pak Ferry. Kami yang mengalami fakta tersebut sehingga sangat wajar ingin terus meneriakkan kondisi yang kami alami ini. Kami sudah tidak bisa lagi mentolerir panjangnya waktu atas penderitaan yang kami alami," ucapnya.
Dijelaskan dia, akibat tindakan pemerintahan di masa Presiden Suharto masih membuat mereka hingga saat ini sengsara. Tapi anehnya, permasalahan tersebut tak kunjung diselesaikan oleh presiden berikutnya dan khususnya oleh Kepala BPN/Kemernterian Agraris sekarang.
"Ini yang tidak masuk akal bagi kami. Kok segitu ngototnya mempertahankan supaya masyarakat tetap menderita," ucap ayah 6 anak dan 3 cucu itu.
"Masa kami baik-baik mendaftarkan pemerolehan SHM atas tanah garapan kami sejak tahun 1968 yang kemudian tahun 1993 dengan seenaknya diberikan oleh presiden Soeharto menjadi HPL OB. Ini yang seharusnya diurus dan diselesaikan oleh pak Menteri Ferry," ucap anak bungsu dari lima bersaudara pasangan Ta dan ibu Jibah ini.
Rani sudah menetap di Pulau Seraya yang berada di belakang Pulau Akar sejak tahun 1939 saat wilayah itu masih bagian dari Keresidenan Bintan Selatan. Pada tahun 2003 wilayah tersebut menjadi bagian dari kota Batam, Rani mengaku kalaupun saat ini ada berbagai aturan-aturan dari pemerintah atau kementerian-kementerian lain misalnya Kementerian Kehutanan, seharusnya aturan itu bukan malah untuk merampas hak warga.
"Seharusnya, kami sedari awal berharap agar kalaupun ada aturan-aturan dari unsur pemerintahan di luar Kementerian Agraria yang menghalang-halangi pemerolehan hak kami, seharusnya kementerian pak Ferry menjadi garda terdepan dong untuk membantu kami menghadapi aturan yang tidak adil itu," harapnya.
[dem]