Ahli waris lahan Gunung Botak, Ibrahim Wael mengemukakan, baik dari Pemkab Buru maupun regu penyelamat sampai sekarang tidak pernah ada yang berurusan dengan upaya pencarian korban longsor atau tewas akibat menghirup gas beracun.
"Seharusnya yang paling bertanggung jawab adalah dewan adat," tuding Ibrahim seperti dikutip dari
Antaranews, Senin (22/7).
Dewan Adat yang dibentuk segelintir orang di Pulau Buru ini, menurutnya, hanya lebih mementingkan keuntungan pribadi karena melakukan penjualan karcis masuk ke lokasi tambang seharga Rp 750 ribu per orang. Keuntungan yang didapatkan juga mencapai miliaran rupiah karena jumlah penambang yang masuk mencapai lebih dari 24 ribu orang.
Ibrahim menuturkan, ketika bencana ini terjadi, para penambang yang selamat hanya berhasil mengevakuasi empat orang yang tewas, dua penambang berasal dari Manado (Sulut) dan dua lainnya dari Ternate, Provinsi Maluku Utara.
Kematian para penambang emas di Gungung Botak dalam jumlah massal seperti ini sudah beberapa kali terjadi, baik karena bencana tanah longsor dan gas azam maupun akibat terjadi bentrokan diantara mereka, namun pemerintah tidak pernah melakukan pencarian. Langkah tegas yang pernah diambil Pemprov Maluku adalah mengeluarkan surat keputusan melarang kegiatan apapun di lokasi Gunung Botak dan menutup kawasan itu sejak bentrok antarpenambang akhir Desember 2012 lalu.
"Sayangnya awal 2013, sekelompok oknum yang menamakan dirinya dewan adat Buru kembali membuka lokasi itu, sehingga mereka harus bertanggung jawab terhadap hilangnya nyawa puluhan hingga ratusan orang di Gunung Botak," kata Ibrahim.
[wid]
BERITA TERKAIT: