Hingga tahun 2002, pengelolaan hutan di sekitar Gunung Ciremai adalah salah satu wilayah Percontohan Terbaik untuk program PHBM (Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat) antara warga masyarakat setempat dengan Perum Perhutani. Bahkan wilayah pengelolaan hutan tersebut menjadi contoh untuk dipelajari tentang model ideal “Pelibatan Masyarakat dalam Pengelolaan Hutan sepulau Jawaâ€. Namun, pada tahun 2002 hingga tahun 2004, muncul wacana dari Pemda Kabupaten Kuningan dan Universitas Kuningan untuk menjadikan kawasan Hutan Lindung Gunung Ciremai menjadi Taman Nasional seperti Taman Nasional Gede Pangrango di Bogor.
Penolakan ide tersebut muncul dari seluruh lapisan masyarakat dan pemerhati hutan wilayah Kabupaten Kuningan. Masyarakat Dusun Palutungan hingga Desa Cisantana, Linggasana, Linggarjati, Trijaya, Setianegara, Seda, Cibuntu hingga ke Pasawahan mengeluarkan penolakan pada tahun 2002. Namun tiba-tiba keluar surat keputusan Menteri Kehutanan saat itu, M Prakosa, satu hari menjelang pergantian ke Menteri Kehutanan periode 2004 - 2009, MS Kaban. Keputusan tersebut dicurigai penuh nuansa KKN dan sangat tergesa-gesa karena ditandatangani satu hari sebelum Menteri Kehutanan baru dilantik.
Akibat keputusan tersebut maka peran Kabupaten Kuningan sebagai wilayah penyangga kebutuhan wilayah lain seperti Cirebon, Indramayu dan Brebes menjadi sangat berkurang dikarenakan terampasnya tata kelola rakyat terhadap Gunung Ciremai akibat diberlakukannya Taman Nasional Gunung Ciremai ( TNGC), rusaknya ekosistem di wilayah Gunung Ciremai yang ditandai dengan semakin banyaknya serbuan babi hutan, monyet dan anjing hutan ke wilayah pertanian masyarakat.
TNGC yang menjadi Taman Nasional baru pada tahun 2004, "menutup wilayah"-nya dari keterlibatan rakyat meski masyarakat desa hutan di Gunung Ciremai telah ada sebelum negara ini merdeka. Ironisnya, TNGC justru membuka pintu selebar-lebarnya untuk perusahaan Jepang yang konon bernama Jeica, di Desa Tridaya dan Karangsari entah dengan alasan apa.
"Janji membekali petani penggarap dalam program PHBM (Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat) dengan bantuan empat ekor sapi per keluarga dan pelatihan untuk alih profesi, kini ternyata selama sembilan tahun masyarakat malah beralih profesi menjadi penggali batu dan tukang parkir," ujar jurubicara Gerakan Massa dan Pemuda Untuk Rakyat Taman Nasional Gunung Ciremai (Gempur TNGC), Okki Satrio, dalam pernyataan pers kepada wartawan, Rabu (5/6).
Menurut mereka, semakin jelas bahwa pihak TNGC hanya melayani kepentingan asing ketimbang melayani rakyat negeri sendiri. Persis seperti dahulu para penguasa daerah menghamba kepada perusahaan VOC Belanda.
Gempur TNGC menuntut pengukuhan kembali kawasan hutan Gunung Ciremai sebagai “Hutan Lindung†yang Memperluas Tata Kelola Rakyat pada Lingkungan dan Sumber Daya Kehidupannya (sesuai Mandat Konferensi Tenurial Reform di Lombok tahun 2011). Gempur menilai Balai Taman Nasional Gunung Ciremai gagal dan tidak mampu mengelola kawasan hutan Gunung Ciremai.
"Kami menolak penetapan Taman Nasional Gunung Ciremai karena SK Menhut 19 Oktober 2004 dibuat secara tergesa gesa serta tidak melalui mekanisme FPIC," terang Okki.
Menurutnya lagi, keputusan sepihak itu bahkan telah melanggar UU Kehutanan Nomor 41/1999 dan produk hukum lainnya seperti UU Pokok Agraria Nomor 5/1960, UU Pengelolaan Lingkungan Hidup Nomor 32/2009, dan UU Penataan Ruang Nomor 26/2007.
Hari ini, massa Gempur TNGC melakukan aksi jalan kaki dilakukan sekitar 2.000 orang bersama pemuda ke Pendopo Kabupaten Kuningan untuk memaksa Bupati Kuningan, Aang Hamid Suganda, untuk mendukung dan menandatangani tuntutan Gerakan Rakyat tersebut.
"Setelah dari kantor Pendopo menghadap Bupati maka massa aksi akan menggempur kantor DPRD Kuningan dengan target memaksa Ketua DPRD Kuningan untuk mendukung tuntutan tersebut dan menanda tangani tuntutan tersebut," jelasnya.
[ald]
BERITA TERKAIT: