Jaringan oknum itu disinyalir berasal dari kalangan aparat, pejabat daerah setempat, hingga ke pihak penyalur, yang disebut juga ‘mami’ atau ‘germo’. Hal ini diungÂkapkan pengamat perÂkotaan Universitas Trisakti (Usakti) Yayat Supriyatna.
MeÂnuÂrut Yayat, setiap kota besar termaÂsuk di Jakarta, pasti punya perÂsoalan yang perlu diÂtangÂgulangi, terÂmasuk penyakit maÂsyarakat. Pemerintah ProÂvinsi (PemÂprov) DKI Jakarta mesti meÂnangÂgulangi permaÂsaÂlahan terseÂbut, baik melalui tindakan preÂventif maupun humanistik (kemanusiaan).
“PSK merupaÂkan penyakit masÂyarakat, karena bertentangan dengan nilai moral dan agama. Karena ada penyimÂpangan nilai moral, kemiskinan, keseÂwenaÂngan terhadap gender tertentu, tragedi seksual di masa lampau, ketidakstabilan psikoÂlogis, praÂhara keluarga hingga persoalan sosial masyarakat,†jelas Yayat.
Selain sebagai penyakit masyaÂrakat, lanjutnya, implikasi perÂbuatan dan jasa PSK juga meÂnimÂbulkan penyakit-penyakit keÂseÂhatan baik secara fisik maupun mental. Hal itu bisa dilihat dari seÂmakin berkembangnya virus HIV/AIDS, bahaya terÂhadap peÂnyakit kelamin dan adanya gangÂguan psikologis akut yang bisa menimpa PSK maupun konsuÂmennya.
Hingga hari ini, keberadaan PSK masih banyak ditemukan di kawasan ibukota dan sekitarnya. Di antaranya, di kawasan HarmoÂni, Gambir, Mangga BeÂsar, TaÂnah Abang, Jatinegara, KeÂmaÂyoran, dan Kelapa Gading. SeÂlain itu, PSK ini juga masih baÂnyak berÂoperasi di pinggir jalan, tempat-tempat sepi, taman kota, pusat pembelanjaan atau mall hingga diskotek.
Melihat keberadaannya sepanÂjang sejarah manusia, masih meÂnurut Yayat, dunia prostitusi seÂlalu saja ada. Di samping diniÂlai dapat menghasilkan untung beÂsar, prostitusi tumbuh pesat berÂsamaan meningkatnya temÂpat-tempat hiburan.
“Perlu sering dilakukan inspekÂsi PSK oleh Satpol PP di tempat mangkal unÂtuk menjaga keterÂtiban umum,†tegasnya.
Dia mengusulkan, pemerintah harus aktif mengakomodasi deÂngan menawarkan pekerjaan pengganti. Juga dengan terus meÂngadakan pelatihan-pelatihan atau kursus-kursus yang mengÂhasilkan uang, demi memenuhi kebutuhan hidup mereka.
Solusi paling tepat, tambah Yayat lagi, sebaiknya pemerintah dan masyarakat merangkul mereÂka. Yakni dengan melakukan pemÂbinaan yang jelas, terutama pengembangan pribadi. Hal ini bisa dilakukan dinas sosial di seÂtiap kotamadya secara intensif.
“Selain itu, perlu terobosan deÂngan adaÂnya tunjangan penÂsiun sebagai moÂdal usaha, agar berÂhenti menÂjadi PSK,†saran YaÂyat.
[RM]
BERITA TERKAIT: