Namun, penggunaan vaksin AstraZeneca bersifat mubah atau diperbolehkan karena bersifat mendesak atau dalam kondisi darurat syar'i.
Sekretaris Jenderal (Sekjen MUI), Amirsyah Tambunan mengatakan, temuan vaksin AstraZaneca itu berdasarkan uji laboratorium dan hasil audit.
Produksi vaksin terdiri dari penyiapan sel inang HEK 293, pengernbangan inokulum bibit vaksin rekombinan (ChAd0x1-S [recombinant]), penyiapan media produksi vaksin, produksi vaksin menggunakan inokulum bibit vaksin ChAdOx1-S (recombinant) pada sel inang HEK 293 pada media steril, proses pemisahan serta pemurnian produk bulk vaksin, formulasi vaksin dengan penambahan eksipien, filtrasi secara aseptis serta pengisian ke dalam ampul.
"Ini hasil audit," ujar Amirsyah Tambunan kepada
Kantor Berita Politik RMOL sesaat lalu di Jakarta, Selasa (23/3).
Adapun, kata Amirsyah, terkait negara-negara Islam lainnya yang turut menggunakan vaksin AstraZeneca, itu kemungkinan beda pendekatan metodologis dalam penelitian vaksin asal Korea Selatan itu.
Ia juga tidak menampik jika vaksin yang diterima Indonesia dan telah dilakukan uji laboratorium hingga audit tersebut berbeda kandungannya dengan negara-negara lain.
"Ya, juga beda metodologinya," kata Amirsyah Tambunan.
Pihak AstraZeneca Indonesia sebelumnya membantah bahwa vaksin buatannya tidak mengandung babi dan hewan lain dalam proses pembuatannya.
"Semua tahapan proses produksi vaksin ini tidak menggunakan dan bersentuhan dengan produk turunan babi atau produk hewani lainnya," demikian pernyataan AstraZeneca dalam keterangan tertulisnya.
Masih kata pihak AstraZaneca Indonesia, vaksin AstraZeneca, disebut merupakan vaksin vektor virus yang tidak mengandung produk yang berasal dari hewan, sebagaimana yang telah dikonfirmasi Badan Otoritas Produk Obat dan Kesehatan Inggris.
Bahkan, vaksin AstraZaneca telah disetujui lebih dari 70 negara di seluruh dunia. Beberapa diantaranya Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Kuwait, Bahrain, Oman, Mesir, Aljazair, dan Maroko.
BERITA TERKAIT: