Kedua turis asal Singapura itu pun dimohonkan Penundaaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) oleh Arsjad Rasjid cs pada Pengadilan Niaga Jakarta Pusat yang telah diputus pada 7 September 2023 dalam keadaan PKPU Sementara.
Putusan dengan nomor perkara PKPU NO.226/PDT.SUS-PKPU/2023/PN.NIAGA.JKT.PST, itu sangat panjang perjalanannya.
Dari PKPU Sementara yang kemudian Hakim Pengawas menetapkan tidak ada utang, kemudian Arsjad Rasjid cs keberatan dan hingga prosesnya berujung pailit pada tanggal 31 Mei 2024
Kuasa Hukum Rozita dan Ery, Damian Renjaan menyampaikan bahwa banyak kejanggalan sejak sidang PKPU tahun lalu hingga dibacakannya putusan pailit pada 31 Mei 2024 pada tengah malam 23.00 WIB bertempat di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Padahal jam kerja pengadilan seharusnya telah berakhir jam 17.00 WIB. Hal ini merupakan pertama kali dan menjadi sejarah dalam hukum Indonesia.
"Orang yang paling bertanggung jawab adalah Majelis Hakim Pemutus PKPU Sementara pada September tahun lalu, yaitu Ketua Majelisnya adalah Hakim Dewa Ketut Kartana dimana putusannya tidak sesuai dengan prosedur dan substansi hukum," kata Damian dalam keterangannya yang dikutip Kamis (11/7).
Damian menjelaskan bahwa sejak awal hal ini bukanlah permasalahan utang, tetapi hanya sebatas bonus yang di antaranya akan diserahkan kepada Ayahnya Arsjad Rasjid dari Pemilik PT Krama Yudha, yaitu Kakek dari Ery (almarhum Sjarnobi Said). Hal itu dituangkan dalam akta 78 tahun 1998, tetapi itu bukanlah kewajiban hukum yang diberikan secara rutin
"Buktinya setelah kami telusuri bukti transaksi dari ayahnya Ery Said (almarhum Eka Said) sebagai penerus dari almarhum Sjarnobi Said, lebih dari 10 tahun telah memberikan uang sebagian besar dari para Pemohon PKPU. Akan tetapi mereka masih menuntut pembayaran bonus itu yang dianggap sebagai utang dari 2002-2022," kata Damian.
"Pertama mereka telah mengajukan PKPU kepada klien kami Ery & Rozita selaku ahli waris almarhum Eka Said, dan telah diputus 7 September 2023, kemudian klien kami mengajukan keberatan hingga Hakim Pengawas mengeluarkan penetapan tidak adanya utang namun penetapan tersebut dibatalkan dan PKPU diperintahkan untuk dilanjutkan sehingga terkesan Ery dan Rozita dipaksa untuk membayar utang tersebut," kata Damian.
"Selanjutnya pengurus menyatakan tagihan sebesar Rp541 miliar sekian, kemudian ditetapkan oleh Hakim Pengawas menjadi Rp132 miliar sekian. Ketika di angka Rp132 miliar kami cukup kooperatif dengan berbagai pertimbangan untuk membayarkannya saja, tetapi seolah-olah dihalangi oleh pengurus karena pengurus bersikeras Rp541 miliar," sambungnya.
Damian menjelaskan, Hakim Pemutus terkesan sangat berpihak kepada Pemohon PKPU, sehingga banyaknya prosedural yang tidak sesuai dengan Undang-Undang apalagi rasa keadilan.
"Kami telah ajukan kasasi terhadap putusan ini dan sedang berproses dokumennya di MA, karena klien kami ini adalah WNA, kita harus malu dengan hukum Indonesia yang sangat tidak adil dan zalim seperti ini. Oleh sebab itu kami memohon kepada Presiden Jokowi dan Pak Prabowo sebagai presiden terpilih untuk membantu kami yang terzalimi dalam perkara ini," kata Damian.
Tak hanya itu, kasus ini telah mendapatkan atensi publik dari Akademisi Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI), para kurator senior dan para mahasiswa fakultas hukum dibeberapa kampus.
"Ada apa dengan Majelis Hakimnya yakni Dewa Ketut Kertana, Heneng Pujadi dan Betsji Siske Manoe yang awalnya memutus PKPU, bahkan setelah Hakim Dewa Ketut Kartana dipindah, Hakim Heneng Pujadi dan Betsji Siske Manoe diduga menjadi dalang selanjutnya karena merekalah yang memutus pailit di hari Jumat tengah malam," kata Damian.
"Sedangkan Hakim Dariyanto yang menggantikan Hakim Dewa Ketut Kertana memilki pendapat hukum berbada (disenting opinion) terhadap kasus ini, dengan menyatakan seharusnya tidak diputus PKPU bahkan pailit," pungkasnya.
BERITA TERKAIT: