Pakar hukum pidana Universitas Al Azhar Indonesia, Suparji Ahmad menerangkan, praperadilan pertama yang diajukan Firli diputus tidak dapat diterima karena mencampurkan antara materi formil dengan materi di luar aspek formil.
Secara substantif, putusan praperadilan pertama itu juga belum masuk pada pengujian tentang keabsahan penetapan tersangka. Menurut Suparji, putusan masih berkaitan dengan aspek formil, belum aspek materiil permohonan tersebut.
"Secara hukum, permohonan yang tidak diterima, pemohon mempunyai alasan hukum untuk kembali mengajukan permohonan," kata Suparji dalam keterangan tertulisnya, Rabu (24/1).
Faktor hukum lain yang membenarkan praperadilan kedua Firli Bahuri adalah tidak adanya prinsip
nebis in idem dalam praperadilan.
Dalam praperadilan, tersangkalah yang menjadi pihak pemohon dan menuntut. Apabila prinsip
nebis in idem dipakai, maka yang harus dilindungi justru posisi aparat penegak hukum.
"Hal ini bertentangan dengan maksud prinsip
nebis in idem itu sendiri, yang pada dasarnya melindungi kepentingan tersangka," sambungnya.
Asas
nebis in idem hanya berlaku dalam tahapan pemeriksaan pokok perkara di persidangan dan tidak berlaku dalam konteks pemeriksaan praperadilan yang secara aturan memang tidak memeiliki kewenangan memeriksa pokok perkara.
"Pada sisi lain, permohonan praperadilan yang lebih dari satu kali, juga pernah diajukan dalam perkara penetapan tersangka yang lain," tutupnya.
BERITA TERKAIT: