Jurubicara Bidang Penindakan dan Kelembagaan KPK, Ali Fikri mengatakan, hari ini, Selasa (7/11), pihaknya memanggil Ahok sebagai saksi untuk tersangka Galaila Karen Kardinah (GKK) alias Karen Agustiawan (KA) selaku Direktur Utama (Dirut) PT Pertamina periode 2009-2014.
"Informasi yang kami peroleh saksi sudah hadir di Gedung Merah Putih KPK dan masih dilakukan pemeriksaan tim penyidik," kata Ali kepada wartawan, Selasa siang (7/11).
Ahok menjalani pemeriksaan sekitar pukul 10.00 WIB di Gedung Merah Putih KPK, Jalan Kuningan Persada Kav 4, Setiabudi, Jakarta Selatan.
Karen Agustiawan resmi ditahan KPK pada Selasa (19/9) dalam kasus yang merugikan keuangan negara hingga 140 juta dolar AS atau setara Rp2,1 triliun.
Kasus ini bermula pada 2012 saat Pertamina memiliki rencana untuk pengadaan LNG sebagai alternatif mengatasi terjadinya defisit gas di Indonesia. Perkiraan defisit gas akan terjadi di Indonesia pada kurun waktu 2009-2040, sehingga diperlukan pengadaan LNG untuk memenuhi kebutuhan PLN, Industri Pupuk, dan Industri Petrokimia lainnya di Indonesia.
Tersangka Karen kemudian mengeluarkan kebijakan untuk menjalin kerja sama dengan beberapa produsen dan supplier LNG yang ada di luar negeri, di antaranya perusahaan Corpus Christi Liquefaction (CCL) LLC Amerika Serikat.
Saat pengambilan kebijakan dan keputusan tersebut, Karen secara sepihak langsung memutuskan untuk melakukan kontrak perjanjian perusahaan CCL tanpa melakukan kajian hingga analisis menyeluruh, dan tidak melaporkan pada Dewan Komisaris Pertamina.
Selain itu, pelaporan untuk menjadi bahasan di lingkup Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), dalam hal ini pemerintah, tidak dilakukan sama sekali. Sehingga tindakan tersangka Karen tidak mendapatkan restu dan persetujuan dari pemerintah saat itu.
Dalam perjalanannya, seluruh kargo LNG milik Pertamina yang dibeli dari perusahaan CCL LLC Amerika Serikat menjadi tidak terserap di pasar domestik, yang berakibat kargo LNG menjadi oversupply, dan tidak pernah masuk ke wilayah Indonesia.
Atas kondisi oversupply tersebut, berdampak nyata harus dijual dengan kondisi merugi di pasar internasional oleh Pertamina.
BERITA TERKAIT: