"Penerimaan-penerimaan hadiah atau janji lainnya dari calon rekanan proyek-proyek di lingkungan Dinas Bina Marga Kabupaten Lampung Tengah," ungkap Wakil Ketua KPK Alexander Marwata.
Mustafa diduga menerima fee dari ijon proyek-proyek Dinas Bina Marga. Ia mematok fee berkisar 10 persen hingga 20 persen.
"Total dugaan suap dan gratiÂfikasi yang diterima yang berhubungan dengan jabatan dan berlawanan dengan kewajiban atau tugas MUS sebagai Bupati Lampung Tengah, yaitu sebesar Rp 95 miliar," kata Marwata.
Berdasarkan penelusuran komisi antirasuah, Mustafa memperoleh uang secara bertahap. Dari Mei 2017 hingga Februari 2018. Penerimaan itu tak pernah dilaporkan ke KPK. Sehingga dicurigai sebagai suap.
Dalam penyidikan kasus ini, KPK juga menetapkan enam pengusaha yang memberikan uang ke Mustafa, sebagai tersangka. Dua di antaranya, Budi Winarto alias Awi dan Simon Susilo. Budi pemilik PT Sorento Nusantara. Sedangkan Simon PT Purna Arena Yudha.
"Keduanya diduga melakukan tindak pidana korupsi memberiÂkan hadiah atau janji kepada peÂnyelenggara negara atau pegawai negeri terkait dengan pangadaan barang dan jasa di lingkungan Kabupaten Lampung Tengah Tahun Anggaran 2018," sebut Marwata.
Mustafa meminta Budi dan Simon menyerahkan uang sebagai ijon untuk mendapatkan proyek pada tahun anggaran 2018. Proyek itu akan dibiayai pinjaman dari PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI) Rp 300 miliar.
Dari kedua pengusaha itu, Mustafa telah menerima Rp 12,5 miliar. Uang itu dipakai untuk menyuap DPRD. Untuk pengeÂsahan Perubahan APBD 2017 Rp 1,825 miliar, pengesahan APBD 2018 Rp 9 miliar, dan persetujuan pinjaman PT SMI Rp 1 miliar.
Para anggota dewan yang menerima suap turut ditetapÂkan tersangka. Yakni Achmad Junaidi Sunardi (Ketua DPRD), Bunyana atau Atubun (angÂgota Fraksi Golkar), Raden Zugiri (Ketua Fraksi PDIP) dan Zainuddin (Ketua Fraksi Gerindra).
Mustafa dijerat dengan Pasal 12 huruf a atau Pasal 11 dan Pasal 12B UU Pemberantasan Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP, juncto Pasal 64 KUHP.
Sementara Budi Winarto cs Pasal 5 ayat 1 huruf a atau Pasal 13 UU Pemberantasan Korupsi. Adapun 4 anggota DPRD disÂangka melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 UU Pemberantasan Korupsi, juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP, juncto Pasal 65 ayat 1 KUHP.
Kasus ini merupakan pengemÂbangan perkara suap persetujuan pinjaman PT SMI. Mustafa terbukti menyuap Rp 9,6 miliar untuk mendapatkan persetuÂjuan DPRD. Ia divonis 3 tahun penjara, denda Rp 100 juta dan dicabut hak politik 2 tahun.
Wakil Ketua DPRD Natalis Sinaga divonis lebih berat: 5,5 tahun penjara dan denda Rp 200 juta. Ia juga dikenakan hukuman tambahan pencabutan hak politik 2 tahun. Sementara koleganya, Rusliyanto dihukum 4 tahun penjara, denda Rp 200 juta dan pencabutan hak politik 2 tahun.
Kepala Dinas Marga Taufik Rahman yang menjadi peranÂtara suap juga telah divonis. Hukumannya 2 tahun penjara dan denda Rp 200 juta.
Perkara ini bermula saat Bupati Mustafa meminta bantuanNatalis membujuk anggota DPRD agar menyetujui pinjaÂman ke PT SMI. Natalis minta Rp 5 miliar untuk dibagikan ke pimpinan dewan, ketua fraksi dan para anggota.
Natalis meminta lagi Rp 3 milÂiar untuk Ketua Partai Demokrat, Ketua PDIP dan Ketua Partai Demokrat Lampung Tengah.
Mustafa lalu memerintahkan Taufik mengumpulkan uang dari rekanan proyek. Terkumpul Rp 12,5 miliar. Uang Rp 2 miliar diserahkan ke Natalis. Jatah Natalis Rp 1 miliar. Sisanya untuk Ketua Partai Demokrat Lampung Tengah, Iwan Rinaldo.
Berikutnya diberikan kepada Raden Zugiri Rp 1,5 miliar, Zainuddin Rp 1,5 miliar, Achmad Junaidi Sunardi Rp 1,2 miliar, dan Bunyana Rp 2 miliar. Dewan akhirnya menyetujui pinjaman ke PT SMI.
Surat persetujuan dilampirÂkan dalam proposal pinjaman ke PTSMI. Namun ternyata masih kurang surat pernyataan kesediaan pemotongan Dana Alokasi Umum dan Dana Bagi Hasil (DBH).
Untuk mendapatkan persetuÂjuan itu, Mustafa kembali melobi Natalis. Kali ini Natalis minta Rp 2,5 miliar. Taufik kembali disuruh menyediakanÂnya. Uang Rp 900 juta didapat dari rekanan Dinas Bina Marga. Kemudian mengambil dana taktis Dinas Bina Marga Rp 100 juta. Sehingga genap Rp 1 milÂiar.
Uang diserahkan ke Rusliyanto melalui adik iparnya, Andi Peranginangin. Setelah meneriÂma uang, Natalis bersedia memÂberikan persetujuan. ***
BERITA TERKAIT: