Ia tahu saat diperiksa penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada hari ini (Kamis, 3/5).
"Itu saya nggak tahu, saya baru tahu tadi, saya nggak tahu. Karena kan menurut Perpres 54 yang menetapkan pemenang itu kan saya gitu. Itu yang ditanya bagaimana cara menetapkan menang," tutur Gamawan saat keluar dari gedung KPK, Kuningan, Jakarta Selatan.
Gamawan menjelaskan, sebelum penandatanganan, dirinya meminta Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) untuk me-review pemenang tender terlebih dahulu.
"Jadi sebelum itu saya kan khawatir, betul nggak ini dilaksanakan dengan baik? Karena itu saya minta direview BPKP. Setelah ada review BPKP tidak ada masalah, baru dan panitia menyatakan sudah sesuai yang berlaku, baru saya tanda tangan. Saya nggak tahu perusahaannya apa itu," lanjutnya.
Namun demikian, ia mengaku tidak pernah mengenal pemenang tender itu sehingga pemeriksaannya kali ini berlangsung sebentar.
"Jadi soal yang lain saya nggak tahu, saya nggak pernah ketemu orangnya, saya nggak pernah ketemu orang perusahaannya, saya nggak kenal makanya cuma sebentar kan," tukasnya.
Selain Gamawan dalam kasus ini, penyidik KPK juga memeriksa terhadap seorang Direktur PT Kharisma Indotarim Utama yakni, Mulyawan untuk Pejabat Pembuat Komitmen Pusat Administrasi dan Pengelolaan Aset Setjen Kemendagri, Dudy Jocom.
Dudy ditetapkan sebagai tersangka pada Maret 2016 dan resmi menjadi tahanan KPK pada 22 Februari tahun 2018.
Satu lagi tersangka yakni General Manager PT Hutama Karya (Persero), Budi Rahmat Kurniawan.
Keduanya diduga melakukan perbuatan melawan hukum dan menyalahgunakan wewenang untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain dalam pembangunan Kampus IPDN di Agam. Mereka dijerat dengan pasal 2 ayat 1 atau pasal 3 UU 31/1999 tentang Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU 20/2001 junto pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
[wid]