Abdul yang dihadirkan seÂbagai saksi ahli oleh Jaksa Penuntut Umum Komisi Pemberantasan Korupsi (JPU-KPK) di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta menÂgatakan, pelanggaran tersebut diatur psal 22 Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi. Dimana rumusan pasal tersebut menitikberatkan pada perbuatan bukan pada terjadinya akibat.
"Dengan demikian maka yang bersangkutan (Miyam) memberikan keterangan tidak benar dan tahu dia memenuhi unsur-unsur pasal 242 KUHP yang bila dilakukan dalam perkara tindak pidana korupsi maka perbuatan itu dapat diÂkualifikasi sebagai tindak pidana korupsi," katanya, di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, kemarin.
Menurutnya, jeratan jaksa KPK terhadap Miryam sudah terpenuhi. Lantaran pada pasal 242 ayat 1 KUHP mengatakan 'barang siapa dalam keadaan di mana undang-undang menentukan supaya memberi keterangan di atas sumpah atau mengadakan akibat hukum kepada keterangan yang demikian, denÂgan sengaja memberi keteranÂgan palsu di atas sumpah, baik dengan lisan atau tulisan, secara pribadi maupun oleh kuasanya yang khusus ditunjuk untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama 7 tahun'.
"Memberikan keterangan tidak benar bisa disampaikan di depan pengadilan dan di luar pengadilan, yang penting dia memberikan keterangan di atas sumpah, tidak terbatas di pengadilan tapi juga di luar pengadilan seperti di penyidiÂkan," ungkap Noor.
Dalam perkara ini, Miryam didakwa memberikan keteranÂgan yang tidak benar dengan cara mencabut keteranganÂnya dalam BAP penyidikan di KPK terkait perkara KTP Elektronik.
Miryam beralasan, BAP tersebut dibuat di bawah tekanan penyidik yaitu Novel Baswedan, MI Susanto dan A Damanik. Ketiga penyidik itu menerangÂkan bahwa mereka tidak perÂnah melakukan penekanan dan pengancaman saat memeriksa terdakwa sebagai saksi.
Terhadap perbuatan terseÂbut, Miryam didakwa dengan pasal 22 juncto pasal 35 ayat 1 UU No 31 tahun 1999 sebaÂgaimana diubah dengan UU no. 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi juncto pasal 64 ayat 1 KUHP yang mengatur menÂgenai orang yang sengaja tidak memberi keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar dengan ancaman pidana paling lama 12 taÂhun dan denda paling banyak Rp 600 juta. ***
BERITA TERKAIT: