Pemerintah Harus Pertegas Posisi Ujaran Kebencian Masyarakat

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/'></a>
LAPORAN:
  • Selasa, 29 Agustus 2017, 16:47 WIB
rmol news logo Pemerintah diminta dapat mempertegas posisi ujaran kebencian atau hate speech yang kerap beredar di tengah masyarakat. Agar pelaksanaan demokrasi tidak terhadang oleh hate speech yang disebarkan secara tidak bertanggung jawab.

"Dalam menyikapi kasus Saracen ini pemerintah harus jelas merumuskan apa itu hate speech, agar tidak berbenturan dengan hak konsitusional masyarakat untuk mengemukakan pendapat," kata peneliti bidang hukum pidana dari Mata Garuda Institute (MGI) Ola Anisa Ayutama dalam keterangannya, Selasa (29/8).

Menurutnya, kebebasan dalam berpendapat merupakan hak konstitusional warga negara yang diatur dalam pasal 28 E ayat 3 UUD 1945. Dan untuk merumuskan apa itu hate speech dapat dilihat pada bagaimana dokumen hukum internasional yang mengaturnya. Misalnya, melihat pada Convention on The Elimination of All forms of Racial Discrimantion yang merumuskan hate speech sebagai penyebaran dan penghasutan ide berbasis diskriminasi ras dan kebencian ras yang berujung pada kekerasan terhadap ras. Kemudian diakomodasi dalam UU 40/2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis. Namun demikian, UU itu kurang menyebutkan diskriminasi dengan dasar agama sehingga perlu diatur pula.  

"Poin penting yang membedakan ujaran kebencian dengan tindak pidana yang lain adalah pada akibatnya, yaitu apakah berujung pada kekerasan atau tidak," jelas Ola.

Namun hal penting yang perlu diingat, bahwa sah saja pemerintah melakukan pembatasan atas hak tersebut, sebagaimana dinyatakan dalam pasal 28 J ayat 2 UUD 1945 atas dasar perlindungan kepentingan umum.

"Tetapi harus diatur dalam undang-undang, bukan hanya tataran surat edaran. Oleh karenanya, mengatasi masalah Saracen ini perlu terlebih dahulu merumuskan apa itu hate speech, sehingga tindakan selanjutnya tidak sewenang-wenang dalam membatasi hak berpendapat," beber OLa.

Dia mengatakan, kasus Saracen adalah gambaran hate speech yang telah terorganisasi. Karena itu, hate speech harus diatur sebagai tindak pidana karena dapat menjadi faktor kriminogen atau faktor penyebab kejahatan berupa hate crime atau kejahatan yang timbul karena motivasi kebencian. Contoh hate crime pernah terjadi di Inggris terkait pengrusakan masjid karena kebencian pada umat Islam. Hal serupa juga pernah terjadi di Indonesia terhadap Jamaah Ahmadiyah.

Lanjutnya, hate crime di Indonesia belum memiliki arah perumusan yang jelas. Bahkan, kepala Polri pernah mengeluarkan Surat Edaran Kapolri Nomor SE/6/X/2015 tentang Ujaran Kebencian, namun mencampuradukkan hate speech dengan pencemaran nama baik, penghinaan, dan delik-delik lain.

Padahal, antara ujaran kebencian, pencemaran nama baik maupun penghinaan tidak bisa dicampuradukkan dalam satu dimensi. Jika dicampuradukkan maka potensi yang terjadi adalah adanya pembungkaman kebebasan berekspresi hanya karena dikatakan sebagai ujaran kebencian.

"Pencemaran nama baik dan penghinaan adalah kejahatan yang sifatnya individual dan sebagai delik aduan. Beda dengan ujaran kebencian yang harusnya bersifat publik tanpa aduan. Selain itu, akibat pencemaran nama baik, penghinaan dan ujaran kebencian juga berbeda," tandas Ola. [wah]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA