Ketua Komisi III DPR RI Bambang Soesatyo mewanti-wanti agar proses rekrutmen hakim tidak dijadikan proyek atau membangun kelompok kekuatan di dunia peradilan.
"Rekrutmen komunitas hakim baru harus dikaitkan dengan keinginan bersama memperbaiki citra korps hakim dan citra lembaga peradilan. Rekrutmen itu harus menjadi bagian tak terpisah dari upaya memperbaiki citra dunia peradilan," ujarnya di Komplek Parlemen, Jakarta, Senin (10/7).
Bambang dapat memahami rekrutmen hakim sebanyak itu. Pasalnya, Indonesia memang kekurangan tenaga hakim. Rekrutmen hakim terakhir kali dilakukan pada 2010. Banyak daerah mengalami kekurangan tenaga hakim. Banyak pengadilan di daerah hanya diperkuat tiga hakim. Padahal, minimal harus enam hakim untuk mengantisipasi penanganan perkara PK (Peninjauan Kembali). Sebab, majelis hakim yang sama tidak boleh memeriksa perkara berstatus PK.
Namun, dalam konteks supremasi hukum dan peran signifikan dunia peradilan, persoalan yang dihadapi negara ini tidak semata-mata kurangnya tenaga hakim. Korps hakim dan praktik pengadilan sudah dicemarkan oleh tidakan tidak terpuji puluhan oknum hakim. Dakwaan, tuntutan, hingga vonis pengadilan bisa dinegosiasikan.
"Bahkan, MA sebagai benteng terakhir bagi pencari keadilan pun sudah berlumur noda," katanya.
Tahun 2015, MA menjatuhkan sanksi etik kepada 118 hakim, baik berupa sanksi berat, sedang, maupun ringan. Selain itu, empat hakim Ad hoc Tindak Pidana Korupsi juga dijatuhi hukuman. MA juga menjatuhkan sanksi bagi 144 staf pengadilan. Kemudian, Komisi Yudisial juga terus kebanjiran laporan masyarakat tentang hakim nakal. Pada 2015, KY menerima 1.491 laporan. Sepanjang 2016, publik melaporkan 1.095 kasus tentang hakim nakal ke KY.
Berangkat dari fakta tersebut, rekrutmen 1.684 hakim baru tidak boleh asal-asalan. Rekrutmen hakim baru harus menjadi bagian tak terpisah dari upaya memulihkan citra korps hakim dan citra dunia peradilan.
"Jangan dilupakan juga bahwa pemerintah sedang mengupayakan percepatan program reformasi hukum. Dalam konteks itu, korps hakim harus berperan signifikan. Sebagai pelaksana seleksi dan rekrutmen hakim baru, MA harus mau mendengarkan masukan dari pihak lain," jelas Bambang.
Dalam rekrutmen nanti, MA juga tidak perlu terburu-buru. MA harus mengutamakan aspek prudent atau kehati-hatian. MA juga tidak boleh menyederhanakan persoalan. Soalnya, yang dicari adalah sosok manusia berintegritas, bukan sekadar barang kualitas tinggi. Mencari sosok manusia dengan integritas teruji bukan pekerjaan gampang. Apalagi untuk mencari hakim baru dengan jumlah sebanyak itu.
"Aspek kehati-hatian ini menjadi sangat penting. Kalau MA tidak peduli dengan aspek kehati-hatian dan profesionalisme, akan muncul anggapan bahwa target merekrut 1.684 hakim baru hanya dijadikan proyek oleh panitia seleksi. Bisa juga muncul anggapan, oknum-oknum di MA ingin membangun kekuatan kelompok untuk mengontrol dan mengendalikan para hakim di seluruh Indonesia," tandas Bambang.
[wah]
BERITA TERKAIT: