Keberatan ini juga sudah disampaikan pada nota pembelaan atau pledoi Irman dua pekan lalu.
"Hak politik itu diberikan sebagai hak asasi manusia, karena bagaimanapun juga ini tidak ada hubungannya dengan kegiatan politik. Kalau ini berhubungan untuk mendapatkan jabatan politik, saya kira saya setuju. Tetapi kan ini tidak terkait dengan untuk mendapatkan jabatan politik," tegas Maqdir Ismail.
Hal lainnya, tim pengacara menilai dengan terbuktinya unsur menerima hadiah, maka pasal yang paling tepat didakwakan kepada Irman adalah Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Pasal tersebut memiliki ancaman hukuman yang lebih rendah dari pasal yang digunakan jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam tuntutan pidana.
Pemidanaan dalam Pasal 11 UU Tipikor hanya maksimal lima tahun penjara dan minimal satu tahun penjara. Sementara, jaksa KPK dan majelis hakim menilai, Irman lebih tepat didakwa melanggar Pasal 12 huruf b UU Tipikor. Dalam pasal itu, ancaman pidana minimal empat tahun dan maksimal seumur hidup.
Tim pengacara Irman tidak sependapat dengan pasal yang digunakan majelis hakim.
Sebab, pasal tersebut menjelaskan mengenai penyelenggara negara yang menerima hadiah atas penyalahgunaan wewenang yang dilakukan.
"Sementara kami berpendapat bahwa tidak ada kegiatan pak Irman yang mempengaruhi kabulog dengan menyalahgunakan kewenangannya. Meskipun terus terang buat saya ini hukuman yang perlu dipikirkan dan kita lihat kedepan seperti apa," kata Maqdir.
Irman terbukti menerima suap sebesar Rp 100 juta dari Direktur CV Semesta Berjaya Xaveriandy Sutanto dan Memi.
Ia dinyatakan terbukti menggunakan pengaruhnya sebagai Ketua DPD untuk mengatur pemberian kuota gula impor dari Perum Bulog kepada perusahaan milik Xaveriandy.
[wid]
BERITA TERKAIT: