Penegak Hukum Wajib Selidiki Dugaan Pencaplokan Lahan Oleh Sinarmas

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/'></a>
LAPORAN:
  • Kamis, 22 Desember 2016, 20:35 WIB
rmol news logo Malang nian nasib Japin dan Vitalis Andi yang menjadi korban kriminalisasi. Meski sudah diputus tidak bersalah oleh Mahkamah Agung, status lahan milik mereka dan warga adat Silat Hulu yang diduga dicaplok secara paksa oleh PT Bangun Nusa Mandiri selaku anak usaha Sinarmas Land belum ada kejelasan hingga kini.

Padahal, lahan ratusan hektar tersebut milik masyarakat adat sejak dulu dan bisa dibuktikan dengan pemetaan partisipatif. PT. Bangun Nusa Mandiri berdalih, lahan yang digusur bukanlah wilayah adat masyarakat Silat Hulu, tetapi wilayah adat warga Bayam Lalang.  

Menyikapi kondisi tersebut, pengamat kebijakan publik dari Institute of Justice and Law Enforcement Indonesia (IJLEI) Yanuar Wijanarko mengatakan bahwa pemulihan nama baik saja terhadap korban kriminalisasi tidak cukup.

"Harus ada kepastian hukum atas lahan masyarakat adat Silat Hulu yang diduga dirampas perusahaan tersebut. Kepolisian harus membuka kembali penyelidikan kasus ini dengan memeriksa ulang pihak perusahaan, para penyidik kedua korban kriminalisasi, serta pemerintah daerah setempat," katanya kepada wartawan di Jakarta, Kamis (22/12).

Menurutnya, arah kebijakan hukum pertanahan di Indonesia harus mencakup hak dasar, yakni konstitusional rakyat dalam memenuhi kebutuhan hidup dan prinsip kesederajatan manusia.

"Jangan karena masyarakat di sana masih awam terhadap hukum positif jadi bisa dipermainkan seenaknya. Ingat, di negeri ini semua orang memiliki hak yang sama dihadapan hukum," kata Yanuar.

Yanuar menuturkan, apa yang dialami masyarakat adat Silat Hulu merupakan contoh penegakan hukum di sektor sumber daya alam yang sangat tidak adil. Hal tersebut justru mengancam eksistensi masyarakat adat yang sangat rentan penggusuran dengan cara mengatasnamakan izin dari negara.

Berkaca putusan Mahkamah Konstitusi untuk perkara Nomor 35/PUU-X/2012 yang dibacakan tanggal 16 Mei 2013. Hutan adat adalah hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat. Artinya, masyarakat hukum adat dinyatakan sebagai subjek pemangku hak.

"Putusan MK itu menunjukkan bahwa kriminalisasi terhadap akses rakyat atas hutan yang diatur secara adat tidak dapat dibenarkan secara konstitusional. Apa yang terjadi di Silat Hulu ini sudah pelanggaran HAM," pungkas Yanuar.

Awalnya, kriminalisasi terungkap dari pemberitaan media. Japin dan Vitalis Andi dinyatakan bersalah melakukan perbuatan mengganggu jalannya usaha perkebunan, dan dipidana satu tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Ketapang, dengan perkara nomor 151/Pid.B/2010/PN.KTP.
 
Tak terima putusan tersebut, Japin dan Vitalis Andi, secara bersama-sama korban kriminalisasi lain dari Sumatera Utara dan Blitar mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi.
 
Melalui putusan Nomor 55/PUU-VIII/2010, MK telah membatalkan pasal 21 dan pasal 47 UU Perkebunan. Berbekal putusan tersebut, Vitalis Andi dan Japin mengajukan Peninjauan Kembali atas putusan Mahkamah Agung Nomor 2292 K/Pid.Sus/2011, dan hasilnya berpihak kepada masyarakat adat dan korban kriminalisasi.
 
Permohonan Peninjauan Kembali dikabulkan majelis hakim dengan membatalkan putusan Mahkamah Agung RI Nomor 2292 K/Pid.Sus/2011, dan merehabilitasi nama para terpidana dan memulihkan hak-hak terpidana dalam kedudukan, harkat dan martabatnya.
 
Majelis hakim menemukan hal-hal baru dalam permohonan PK tersebut yakni putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-VIII/2010 pada September 2011. Putusan itu membatalkan ketentuan pasal 21 junto pasal 47 ayat 1 UU 18/2004 tentang Perkebunan, karena bertentangan dengan UUD 1945. [wah]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA